Skip to main content

The power of melamun

Lama sekali tidak menulis di sini. Sudah beberapa bulan ini memang waktu, tenaga dan dipikiran terkuras habis untuk menyeleseikan pernak pernik disertasi. Dokumennya itu boooo banyak banget dan ga boleh salah setitikpun atau kamu ga bakal lolos screening untuk ujian. Lebih lelah lagi karena juga harus bergulat dengan hati ku yang selalu saja bolak balik ga karuan. Kadang semangat, optimis dan gembira, tapi kadang mengharu biru dan malas tanpa sebab. Kadang takut juga, bisa ga ya bisa ga ya... dan lain lain yang mengganggu banget.

Sejak akhir Maret lalu, setelah perjalanan ke Tokyo buat urus perpanjangan pasport, saya udah nyusun rencana mau nulis ini itu. Termasuk tips kalau mau jalan ke Museum doraemon atau ke Disney land. Cuma ya itu tadi, mendadak di minggu pertama April sudah langsung jederrr jederrr jadwal ini itu bertubi-tubi, dan tiba-tiba isi kepala menjadi berantakan.

Bagaimana kah sekarang?

Alhamdulillah satu persatu mulai tertata. Satu persatu di seleseikan sambil duduk, berdiri, tiduran, dan naik sepeda. Diseleseikan dalam lamunan maksudnya hahaha... eit jangan salah lho, ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa melamun, dalam hal ini mengistirahatkan pikiran, itu justru akan menambah kreatifitas dan produktifitas. Orang yang menyempatkan diri melamun di saat situasi yang ruwet, biasanya akan bisa menemukan jalan keluar dibanding orang yang saat ruwet malah sibuk dan geger. Dengan melamun barang sekian detik, kita men-shutdown hal-hal lain dan mengaktifkan informasi yang berkaitan dengan apa yang sedang kita hadapi. Maka dari itu terus otak gampang mengolah data itu dan menghasilkan apa yang disebut sebagai ide, solusi, atau gagasan.

Saya seneng melamun, jujur ya hahaha.. Suami kadang suka mendapati saya yang sedang melamun bahkan ketika saya sedang sibuk masak atau nyuci piring atau bahkan nonton TV. Pokoknya di mana aja kalau saya rasa saya sedang butuh berfikir sedikit keras saya melamun. Suami sih ga suka lihat saya melamun, jadi setiap kali tertangkap kameranya dia saya langsung ditegur. Saat nulis begini aja saya bisa nyempetin melamun lho sambil mikir mau nulis apa lagi hehehe...

Cuma ya memang sedapat mungkin melamunlah di keramaian. Terus melamunnya jangan yang kosong banget gitu, ntar pas ada yang lewat kan bahaye. Melamun kalau definisi saya sih mengaburkan pandangan mata dan di saat yang sama menajamkan pandangan hati dan otak. Paling takut tu kalo ga sengaja melamun di green house, sore-sore, hujan dan sepi. Takut beneran kemasukan apa gitu. Jadi kalau pas di greenhouse sendirian biasanya saya lebih suka sambil nyanyi atau sambil telpon, biar ada temennya

Ini tulisan Tirto.id pekan lalu kalau ga salah. Tentang melamun. Bisa buat bahan melamun juga hehehe..https://tirto.id/tak-ada-yang-salah-dengan-melamun-cnBh



Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...