Skip to main content

When we were young -- Pak Makno

Selamat hari Minggu... di sini sedang hari Ibu lho... Nah pas weekend gini enaknya nulis yang agak-agak berbau kenangan... cieeeee

Hari kamis pekan lalu saat golden week, saya sedang bersiap naik sepeda ketika tiba-tiba ada panggilan WA masuk. Dari kakak saya, Mbak Laela Pranowo. Saya tidak menerima panggilan itu, tapi saya kirimkan pesan. Saya bilang "Aku lagi neng njobo e, nopo? (aku lagi di luar, ada apa?)" dan dia pun membalas "Pak Makno nakokke kowe, dilit wae (Pak Makno nanyain kamu, bentar aja)". Saya pun kembali menyetandarkan sepeda merah itu dan bersiap menerima panggilan video call dari Mbak Iti.

Di seberang sana, ada wajah yang tak pernah berubah. Jika rambutnya tak putih, tentu saya akan bisa bilang beliau masih terlihat muda seperti saat 23 tahun yang lalu. Senyumnya masih sama. Intonasi suaranya masih sama. Sama seperti dulu beliau selalu menyapa saya "Oh, kok saiki tambah lemu (Oh, kok sekarang tambah gemuk)" kata beliau sambil tersenyum. Saya pun tertawa. Saya tertawa karena bahagia, berarti beliau masih mengingat saya sebagaimana 23 tahun lalu saya. Wajah imut-imut mungil yang selalu senang dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang beliau ampu. Saya mungkin satu diantara beberapa muridnya yang hafal luar kepala makna imbuhan ber-, ter-, dan sebagainya. Saya juga mungkin satu diantara beberapa murid beliau yang kalau disuruh membuat karangan pasti jadinya panjaaaaang.



Pak Makno dulu adalah guru yang lumayan ditakuti. Ditakuti ya bukan disegani. Ditakuti karena beliau tidak segan memukul ataupun menjewer muridnya yang susah dikasih tahu. Sofan, Agus, Edy dan mungkin masih banyak lagi nama-nama yang langganan kena jewer beliau. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang menjewer dan memukul. Ada pak Kendar yang kalau masuk kelas langsung nyari penggaris kayu yang satu meter itu. Siapapun yang ngantuk langsung dipentung. Siapa yang rame langsung kena pentung. Saya juga pernah kena pentung, tapi pake prolog hahaha. Saya ndlosor di meja karena ngantuk polll....pelajaran geografi itu kan ga menarik banget to apalagi cuma dibacain. Lihat saya ndlosor beliau langsung mendekat, trus saya ditanya "Kenapa? Mengantuk?" oh yeah...beliau selalu memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar lho. Dan dengan tenang saya jawab "Iya ngantuk" dengan posisi masih ndlosor cuma wajahnya menghadap beliau. Dan dipentunglah saya dengan lembut di kepala. Dan saya tetap tak bergeming. Ngantuk beneran soalnya.

Lain lagi Pak Eku, guru PTT yang sekarang sudah jadi guru tetap di sebuah SMP negeri di Muntilan itu dulu masih baru lulus kuliah. Masih muda, pelatih tapak suci pula. Saya ingat betuuuul pas pelajaran Fisika, entah karena sebab apa, tapi kayaknya karena rame, Agus dan Wawan disuruh ke depan mengerjakan soal ga bisa trus disaduk. Disaduk tau ga? Di pukul perutnya. Kenceng lho itu, ga main-main. Bener-bener pake jurus harimau terbang hahaa eh ga ding harimau terbang itu kaki ding.

Yang Ibu-ibu juga ga mau kalah. Selain pakai jeweran atau jenggitan, beliau-beliau kalau marah lebih serem dari bapak-bapak, soalnya pakai ceramah panjang kali lebar hehehe *sungkem bu Harti
Tapi mau gimana lagi ya, dulu itu mereka memukul, menjewer, menjitak, menyaduk, dan lain-lainnya itu didasari rasa sayang (kayaknya lho...) bukan rasa benci. Kala gemes sih pasti iya, siapa sih yang ga gemes punya murid kayak Edy yang kecil mungil lincah susah banget diatur hahaha *sorry yo Ed
Siapa juga yang tahan punya murid kayak Sofan yang suaranya keras dan kenceng plus serak-serak sepet, ngeyelan lagi. Dia ngomong biasa aja udah kayak orang gmarah apalagi aps ngeyel hahaha.... *Sofaaan dipersory yo Bro...
Adalagi, Agus. Sudah lah ini mah komandan pasukan ngeyel sedunia. Wajahnya sih polos. Cuma tahi lalat di atas bibirnya itu sudah pertanda kalau dia ditakdirkan banyak omong wkwkwkw
Trus ketambahan murid pindahan sebagai pelengkap keriuhan yaitu Wawan hahahaha... Pusing semua guru MTs dulu pasti.


Kembali ke Pak Makno dan guru-guru SMP dulu.

Bagi saya mereka itu juara nya juara. Mengabdi sepenuh hati di sebuah sekolah yang cuma punya 3 lokal di tengah gedung megah SMP dengan murid-murid seadanya. Ada yang memang berniat sekolah di sana tapi juga ada yang setelah ga ketrima di mana-mana akhirnya sekolah di sana. Saya termasuk yang masuk karena terpaksa, daripada "dibuang" disuruh mondok. Dulu Mae cuma ngasi dua pilihan, mondok di Assalaam Solo/Temanggung atau ke MTs. Tapi Allah memang sudah membuat skenario yang paling baik untuk saya. Di sana saya belajar banyak hal di tengaah keterbatasan. Saya juga mendapat Bapak Ibu baru yang sampai sekarang bagi saya mereka bukan 'Bekas Guru' tapi akan selalu menjadi orang tua saya. Orang tua, selain Mae, yang sudah meletakkan pondasi-pondasi untuk jalan yang akan saya tapaki hingga sampai sejauh ini.

Dan untuk pak Makno, kemarin saya bilang "Bapak jaga kesehatann ya, besok saya pulang InsyaAllah mampir. Jangan lupa doain saya ya pak"

Dan sambil tersenyum beliau bilang "Iyo iyo..mesti didoakan, mugo-mugo sukses yo.."

Aamiin....

Comments

Popular posts from this blog

Aku yang mulai sakit

Aku mulai merasa sakit Sakit akibat rasa marah yang tak berkesudahan Atas kata-katamu yang tak tajam Tapi sanggup merobek-robek semua file kebaikan tentang dirimu Lalu, Aku berusaha menyusun serpihannya Dengan menggali dibalik neuron-neuron otakku Semua kebaikan tentang mu Aku sudah merasa sakit Jauh sebelum pekan itu Sejak sekian ratus hari lalu Dengan kecewa yang bagai cermin Sama namun terbalik gambarnya Meski sejak itu, Aku berjanji tak akan pernah lagi merasa sakit Jikapun kau lakukan hal yang sama padaku Karena sejujurnya aku tahu Pengorbananmu lebih besar dari cintaku Aku mulai merasa sakit Sakit atas rasa takut yang tak kepada siapaun bisa kubagi Aku menoleh padamu tapi tembok yang kubangun terlalu tinggi Aku tak menemukanmu dalam jangkauan tanganku Aku kehilangan kepercayaan atas ketulusanmu ( Yamaguchi, sekian puluh purnama yang lalu. Beberapa minggu menjelang ujian Doktoral. Entah puisi ini ditulis untu...

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Tiba Saatnya Kembali untuk Pulang

"All my bag are packed, I am ready to go,  I am standing here outside your door,  I hate to wake you up to say goodbye...." Siapa yang tak kenal lagu itu? Lagu kebangsaan para perantau setiap kali harus pergi dan pulang. Lagu yang menggambarkan betapa beratnya segala bentuk perpisahan itu, tak terkecuali berpisah untuk bertemu, dan berpisah untuk kembali ke tempat asal. PULANG. Sudah berapa lama ya ga nulis? Lamaaa sekali rasanya. Padahal banyak ide berseliweran. Apa mau dikata, kesibukan packing dan sederet hal-hal yang berkaitan dengan kepulangan ke tanah air, merampas semua waktu yang tersisa. Semua begitu terasa cepat dan hari berganti bagai kita membalik lembaran buku penuh tulisan membosankan. Akhirnya, senja benar-benar telah sampai di gerbang malam. Sudah saatnya mentari kembali ke peraduan. Bersama orang-orang kesayangan. Khusus untuk di Jepang, pulang selamanya (duh...) atau back for good (BFG) itu harus menyeleseikan terlebih dahulu banyak ha...