Skip to main content

Dear Nasywa



Dek, akhirnya kamu tumbang juga. Sebelum ke Ayukawa Sensei tadi pagi, Ummi sempat membuka buku record obat mu. Di sana tertera tanggal 18 Januari. Berarti sudah sekian bulan kamu ga apel ke Ayukawa Sensei. Di beberapa kesempatan, saat kamu bosan sekolah, kadang kamu bilang "Aku tu pingin netsu e Ummi, biar sekolahnya oyasumi". Dan aku paling ga suka kalau kamu bilang begitu.

Sebenarnya sudah dua malam kamu merasa tidak enak badan. Hidung meler se meler-melernya. Plus mampet se mampet-mampetnya. Dua malam lalu saat kamu tidur, aku bahkan sempat merekam suara desahan nafasmu yang senggrok-senggrok, dan ku kirimkan ke Abahmu. Abah saja sampai komentar "MasyaAllah begitu banget le nafas".

Dek, maaf ya, di setiap sakit mu, aku selalu saja menyelipkan kata-kata dan kalimat yang nadanya menyalahkanmu. Saat tahun lalu kamu kena Influenza B, saat dua tahun lalu kamu kena Influenza A, saat kamu kena radang tenggorokan, dan juga saat ini yang bahkan kamu cuma didiagnosa flu biasa, aku selalu saja bilang kamu punya andil salah. Paling tidak, salah satu nasehat ku yang selalu ku ulang-ulang itu, ada yang tidak kau patuhi. Itu menurut penilaianku. Yang kamu lupa ga cuci tangan dan kumur-kumur setelah keluar rumah, yang kamu malas pakai masker kalau kemana-mana, yang kamu makan es krim meskipun sudah musim dingin, dan lain-lain. Padahal, jauh di lubuk hati ku, Ummi tahu, sudah sejak duluuuuuu keputusan sakitmu itu dituliskan. Sama sekali kamu ga salah.

Dan Dek, tadi pagi saat budhe Dewi telpon lalu bilang jangan-jangan kamu kena influenza (lagi), Ummi bener-bener sudah persiapan dengan kondisi yang paling buruk. Kalau-kalau kamu bakalan panas berhari-hari seperti tahun lalu, ga doyan makan, lemes, ga bisa bab, tidur selalu mengigau, dan segala hal-hal mengerikan lain. Meskipun Ummi sempat bilang ke budhe Dewi "Adduh..masak sih kena influenza, padahal vaksinasi aja belum sempet", tapi jujur ummi khawatir. Karena berarti malam-malam tidur nyenyak ku akan terganggu. Jam-jam tenangku di kampus akan terusik. Dan semua kekhawatiran yang ga mencerminkan keibuan banget itu. Sorry dorry morry ya Chan...

Tapi untunglah, Ayukawa Sensei tadi bilang kamu cuma flu biasa. Meskipun proses penyedotan umbelmu saja membutuhkan waktu yang lumayan lama dan berkali-kali. Hidung kanan, hidung kiri, balik kanan lagi, kiri lagi dan seterusnya sampai sudah tak ada lagi yang terlihat kesedot mesin vacuum hidung itu, ummi benar-benar lega. Kamu pun segera tersenyum, karena kamu tahu pasti, kalau ini Influenza maka kamu akan segera diisolasi di ruangan lain. Sudah macam kamu mengidap penyakit menular mematikan saja.

Maka, demi melihat kamu bahagia, Ummi pun lega. Kamu bahagia berarti kamu akan sembuh. Karena bukankah kebahagiaan adalah obat dari segala obat? Karena alasan itu pula saat kamu minta dibelikan mainan tadi, aku segera mengiyakan. Sungguh beli mainan seharga 200 yen itu ga ada apa-apanya dibandingkan kalau kamu harus benar-benar sakit.

Nah Dek,
Kalau sekarang Ummi memilih tetap pergi ke kampus, dan membiarkan mu di rumah sendiri, itu juga karena ada beberapa alasan. Yang paling utama adalah, Ummi percaya  kamu bisa menjaga diri. Makan sendiri. Mengukur suhu tubuhmu sendiri lalu menuliskan di fever record tadi. Dan hal-hal yang sudah biasa kamu lakukan sendiri setiap hari saat kamu pulang sekolah dan aku masih di kampus. Namun, di luar itu, aku pikir, keberadaanku di kampus lebih punya manfaat untuk teman-teman Ummi yang butuh diajari atau ingin bertanya sesuatu. Daripada aku di rumah cuma nonton drama korea coba. InsyaAllah kamu akan baik-baik saja. Dan tentu, jangan lupa telpon kalau ada apa-apa.

Oh ya, jangan lupa sisi sering-sering, biar kumannya keluar semua. Masukkan tisyunya di dalam plastik, lalu rapatkan plastiknya biar virusnya ga terbang-terbang.

Syafakillah...Chan... <3 <3


Kosa kata:
Nestu : demam
Oyasumi : libur
Umbel : ingus
Sisi : mengeluarkan ingus

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...