Skip to main content

Bukan sekedar berlari


Dalam sebulan ini, November, ada dua project besar yang harus diseleseikan oleh semua anak SD, terutama di SD Hirakawa. Yang pertama adalah konser musik (ongaku kai) dan yang kedua adalah marathon. Ongaku kai sudah dilaksanakan di awal bulan, tepatnya tanggal 10 November kemarin. Dan marathon, even tahunan yang selalu dilakukan di awal musim dingin sebagai sarana agar anak-anak tetap berolahraga, tetap bergerak, walaupun udara dingin sudah mengepung dari segala penjuru.

Menjelang marathon, orang tua diberikan surat edaran yang isinya menanyakan, apakah anaknya akan ikut berpartisipasi atau tidak. Jika tidak, kenapa? Tentu hampir semua orang tua menyetujui anaknya ikut marathon, kecuali memang ada yang punya penyakit atau keterbatasan tertentu yang membahayakan si anak, astma misalanya. Nah tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya saya menyetujui Nasywa ikut marathon, tentu setelah bertanya kepada anaknya.

Menjelang hari H, hampir setiap 3 hari sekali mereka melakukan latihan. Dan setiap latihan, rasanya sudah mau marathon beneran. Karena hasilnya pun ditulis dalam selembar kertas lalu di tempel di rendakucho (buku penghubung). Urutan no berapa, lalu ditempuh dalam berapa menit berapa detik.

Di hari H, anak-anak dikumpulkan berdasarkan kelas. Seperti saat onkagu kai, kelas yang belum masuk jadwal pentas akan tetap melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasa. Setelah pentas juga akan kembali ke kelas melanjutkan pelajaran. Mereka tidak akan melihat kakak kelas atau adik kelas mereka pentas. Oleh karena itu, biasanya Nasywa akan minta saya merekam seluruh pementasan dan dia akan melihatnya nanti saat sudah pulang ke rumah. Demikian juga marathon ini, pelaksanaan dibagi pertingkat, dan siswa laki-laki dan wanitapun dipisah. Siswa perempuan berlari terlebih dulu, siswa laki-laki menyemangati. Dan bergatian setelahnya.

Ada yang menarik di setiap tahunnya. Terutama jika ada yang terlambat berlari, entah karena memang sudah tidak kuat, tidak niat atau karena terjadi kecelakaan sebelumnya. Nah, kemarin di kelompok siswa perempuan salah satu siswa di kelas Nasywa ada yang menjadi pelari terakhir. Dia memang tubuhnya cukup gembul dibandingkan teman-temannya. Tapi meskipun lambat, dia konsisten. Berlari dari awal sampai akhir. Tidak terlihat malu. Pun tidak pula menangis. Di lap terkahir dari total 3 lap (1km), sensei wali kelasnya menemani anak itu berlari sampai finish. Berlari-lari kecil diringi tepuk tangan wali murid yang berdiri di luar track dab seru seruaan teman mereka menyemangati gadis kecil itu. Gambatte... ganbatte!! teriak teman-temannya sambil menunggu dengan setia di tengah lapangan.



Lain lagi di kelompok siswa laki-laki. Salah satu teman sekelas Nasywa ada yang terjatuh beberapa meter dari garis start. Kondisi ini menyebabkan dia kehilangan kepercayaan dirinya. Setelah menyeleseikan satu lap, dia sempat terjatuh lagi. Namun apa yang dilakukan gurunya membuat saya terharu. Hal pertama yang dilakukan senseinya adalah membantu dia berdiri.Lalu sang guru menyemangati anak itu untuk kemabli berlari dengan ikut menemani anak itu. Anak itu tetap melanjutkan perjalanan meskipun cuma dengan berjalan. Sesekali dia menyeka air mata yang meleleh dari mata sipitnya. Ya, dia menangis. Tentu dia malu. Tentu dia takut. tentu lengannya sakit. Bahkan mungkin berdarah. Tapi perjalanan harus tetap dilanjutkan. Karena dia sudah memilih ikut marathon, maka yang sudah dimuali harus diseleseikan. Dan senseinya pun menemani anak itu berjalan, Sesekali meminta anak itu untuk coba berlari lagi meskipun lambat. 

Orang tua dan wali murid lain yang berdiri di sisi luar lapangan pun ikut memberikan semangat. Meneriakkan yel yel "Ganbare!!", dan bertepuk tangan. Begitupun teman-teman yang sudah lebih dulu menyeleseikan 1 km penuh. Menunggu dengan setia di tengah lapangan, bertepuk tangan, dan berteriak "Ganbare!!!"

Guru, orang tua, masyarakat dan teman-teman, melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Menyemangati, bukan mengejek. Menemani, bukan meninggalkan. Menguatkan, bukan membuat lemah. Ini kesuksesan bersama jika semua bisa menyeleseikan 1 km perjalanan. Masing-masing punya cobaannya sendiri. Ada yang lambat karena terlalu berat badannya. Ada yang cepat karena memang punya talenta berlari cepat. Ada yang sebenarnya punya potensi, seperti anak ini, tapi ternyata dapat ujian jatuh.

Tidak penting kamu berhasil di nomor berapa. Yang penting adalah kamu menyeleseikan apa yang sudah kamu mulai. Kamu bertanggungjawab dengan pilihanmu. Orang tua, guru, dan teman-temanmu akan menemanimu dan mendukungmu. Begitu kira-kira pelajaran yang ingin disampaikan gurunya kepada dia dan seluruh siswa yang lain. Termasuk juga saya.




Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...