Skip to main content

Among-among


Siang ini, saya mendapat kiriman foto dari mbakyu saya, "Lagi bikin among-among" katanya.

Untuk saya yang lahir dan besar di desa, among-among, merupakan kata yang berkonotasi bahagia. Among-among berarti ada makan makan. Among-among berarti ada keceriaan dan kebahagiaan yang dibagi bersama kawan, saudara, dan tetangga dekat.

Among-among biasanya dibuat saat weton (pasaran lahir) seseorang. Saya lupa, kapan terkahir  saya dibuatkan atau membuat among-among. Maka siang ini melihat foto sepiring kluban dan telur rebus paroan itu membuat saya kembali bernostalgia.

Biasanya, bagi keluarga yang hendak membuat among-among, mereka akan mengundang anak-anak kecil bersama para orang dewasanya untuk datang di jam makan siang. Tentu bukan nasi prasmanan yang dihidangkan, tapi hanya sepiring nasi kluban dengan beberapa potong telur rebus yang diris kecil-kecil. Nasi itu sebelum dimakan rame-rame tentu akan ditaburi dulu dengan doa. Doa-doa baik bagi semua. Lalu, tangan-tangan kecil dan besar akan segera menyerbunya. Memakan sesuap demi sesuap dengan bahagia. Kroyokan.

Entah bagaimana, tapi bahkan dengan senampan kecil nasi among-among, kalian akan sudah merasa kenyang. Sambil tertawa-tawa kalian juga akan rela menjilati jari-jari sampai jilatan terakhir. Bersama dan bahagia dalam kesederhaan.

Among-among ini sebenarnya salah satu bentuk penyatuan kebudayaan dan ajaran agama. Asal-usul among-among adalah persembahan, sesaji. Nah, daripada sesaji diberikan kepada pohon, batu, atau patung, maka oleh para sunan, sesaji itu kemudian dibentukkan menjadi sedekah yang dimakan rame-rame. Niatnya memang sedekah. "Membahagiakan orang sekitar dan membahagiakan kita sendiri" itu istilah mbakyu saya. Karena bahagia, adalah obat dari segala jenis obat. Saat kita bahagia, kita bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan bisa.



(Foto diambil dari http://www.beritakebumen.info/2014/03/among-among-tradisi-penuh-makna-yang.html0

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...