Skip to main content

When we were young -- Diusir dari kelas

Sejak pagi hujan deras di Yoshida, Yamaguchi. Saya yang sejak pagi sudah mendengar dua kabar duka bener-bener harus berjuang membenarkan semangat yang tiba-tiba saja mlotrok. Ditambah pagi-pagi baca postingan mbak Ega yang bikin banjir. Kisah itu, dan berita duka seorang kawan yang saya dengar di sela tadarus online subuh tadi seperti saling melengkapi. Dan saya cuma bisa ndlewer. Bahkan sambil menulis ini pun, mata saya masih berkaca-kaca mengingatnya. Duh Gusti...

Sampai di Lab dengan basah karena hujan memang lumayan besar. Jas hujan saya ga mampu menampung semua percikannya. Ada sebagian yang masuk menelusup dari sela-sela resletingnya. Rok bagian bawah dan lutut basah. Untung saya sudah memutuskan ga akan bawa tas ransel. Saya cuma bawa tas slempang kecil yang isinya kaos kaki cadangan, kartu debit, KTP plus uang seribu. Memang di dompet juga adanya Alhamdulillah masih seribu.

Belum ada sejam saya buka laptop meneruskan memoles tabel untuk paper saya, ada anak lantai 4 yang entah sedang pengamatan apa bikin rusuh. Ada 3 orang yang lari bolak balik dari lantai 4 ke lantai 1. Dari ruangan saya yang ngadep tangga, saya cuma bisa istighfar. Mau marah yo ga mungkin wong mereka lagi penelitian. Tapi berisiknya gubrak gubrak bikin emosi. Untung lagi ga puasa *eh

Bunyi alarm jam 12 siang terdengar dari kejauhan. Saya masih menekuri tabel data untuk 2 tahun kerja itu sambil sesekali ngintip FB. Lalu satu persatu mahasiswa yang hendak praktikum di lab sebelah berdatangan. Sengaja pintu ga saya tutup. Soalnya saya ga mau dikagetkan dengan sensei yang tiba-tiba masuk mengabarkan hasil review paper saya yang satunya. Di web sudah ada konfirmasi final decision, tapi sensei belum forward emailnya. Saya cari sensei di ruangan ga ada, di pintunya, pin muka sensei ada di kolom "meeting". Lengkaplah sudah.... Sampai tulisan ini diturunkan belum ada kabar dari sensei. Mau nanya lewat email, tapi jujur saya sendiri belum siap hahaha. Piye to yu yu...

Mahasiswa di ruang sebelah sudah mulai ramai. Jarang-jarang saya dengar anak Jepang di kelas ramai. Meskipun belum dimulai praktikumnya, tapi biasanya mereka ya kalem-kalem aja. Kalau agak berisik ya sedikit aja, ga pernah semeriah hari ini. Entahlah, mungkin mereka sedang merencanakan buka bersama hahaha *nglindur

Tiba-tiba kenangan saya seperti dilempar ke suatu pagi di tahun 2003. Di suatu pagi yang juga mendung. Di sebuah kampus yang gedungnya berbentuk persegi 6. Di sebuah kota yang dijuluki kota hujan. Bogor.

Pagi itu ga ada firasat apa-apa. Semua berjalan sempurna seperti pagi-pagi biasa. Bedanya, pagi itu saya ga sempet sarapan. Bahkan mbah yang biasa jualan gorengan saja ga nampak punggungnya. Mau ke Bang Ucok kok ya sudah kesiangan. Secara pagi itu ada praktikum Hama dan Penyakit Tumbuhan Hortikultura atau known as HPT Horti. Ya sudah, saya berangkat sendiri. Ga bareng Luki karena Luki ambil praktikum sore.

Saat saya datang di lab HPT yang posisinya dekat dengan tangga ke Sapta itu beberapa anak sudah datang.  Yang beberapa itu termasuk para punggawa pembawa kegembiraan di kelas (baca :tukang rame). Perlu disebutkan nama-nama nya? Yang pasti 3 serangkai itu sudah duduk sambil ngobrol kenceng. Angga, Ucok dan Indra.

Saya datang suasana tambah meriah. Meriah di sini berarti tambah kacau ya. Suara-suara ini itu bersahutan. Olok-olokan mulai terdengar silih berganti. Suara tawa cekikikan sampai terbahak-bahak sambung menyambung. Sungguh kelas yang rusuh. Kalau saya jadi dosennya kayaknya sudah saya kasih C semua itu praktikan. Bikin onar *sadiss

Tiba-tiba, dari arah timur terlihat Nisa datang. Hari itu Nisa pakai baju yang baru pertama kali saya lihat. Baju putih bunga-bunga biru ungu kain saten. Dengan penuh semangat saya langsung teriak kasih komando "Woi...Nisa pakai baju baru..!!"  Ga usah dikasi komando kedua, para prajurit horti itu langsung serentak meneriakkan kalimat bully-an "Nisa baju baru..Nisa baju baru..Nisa baju baru..." begitu terus bersahutan sampai Nisa yang ga ngerti maksudnya apa, secara dia merasa bajunya ga baru, duduk manis tanpa merasa bersalah. Dan kami tak pernah tahu bahwa ada sepasang mata berapi-api sedang melihat adegan itu di pojok ruangan.

Kerusuhan masih berlangsung beberapa detik, sampai si pemilik mata berapi-api itu buka suara "Siapa yang bikin rusuh tadi??!! 

Suara itu bagai petir di pagi hari. Jederrr....semua langsung diem, cep klakep. Termasuk saya.

"Siapa  yang bikin rusuh tadi, silahkan keluar!!" kata beliau lagi masih dengan tinggi nada yang sama. Mantap pula.

Saya pandangi temen-temen yang mulai bikin rusuh. Indra, menunduk. Ucok, sibuk buka-buka buku petunjuk praktikum. Angga cuma diem memandang ke depan. Fajar, apa lagi itu dia juga bikin ramai kenapa malah senyum-senyum.

"Yang tadi bikin ramai, silahkan keluar atau kita ga jadi praktikum!!" kali ini tinggi nadanya berkurang, tapi ancamannya bertambah.

Saya masih menimbang-nimbang dalam hati. Iya saya memang menjadi salah satu pembuat onar (atau inisiator onar?? hahaha). Kalau saya ga keluar, yang rugi banyak. Kalau saya keluar, gimana nasib praktikum ini??. Lalu saya ingat, oh iya...masih ada kelas sore. Pindah aja lah ke kelas sore.

Maka dengan mantap, saya ambil tas biru harga 15 ribu yang beli di pasar itu. Saya keluar dengan biasa aja. Niatnya mau langsung ke Sapta makan gado-gado. Lapar belum sarapan soalnya.

Keluar dari pintu saya ga nengok-nengok. Ga pede juga mau nengok. Takut bersitatap dengan pemilik suara itu. Saya baru nengok setelah sekian langkah dari pintu dan mendengar langkah-langkah lain di belakang saya. What??!!

Di belakang saya selang 4 langkah kira-kira, ada pasukan pembuat onar yang sesungguhnya keluar ruangan juga sambil senyum-senyum. Siapa lagi mereka kalau bukan Indra, Ucok dan Angga. Eh kayaknya Fajar sama Anas juga ikutan. Saya tatap mereka yang senyum-senyum polos itu.

"Kalian ngapain?" tanya saya.

"Ya keluarlah, kan kita juga bikin onar". Jawab salah seorang diantara mereka.

"Kenapa bukan dari tadi keluarnya???!!" tanya saya setengah sebel.

"Ya kan Lo tadi yang pertama neriakin Nisa baju baru,Ni.." jawab Indra sok lugu. Dan saya cuma bisa menelan ludah kelu.

"Kita kemana nih Ni?" tanya mereka selanjutnya.

Dengan perasaan kesel campur geli saya jawab "Makan!".

Lalu pasukan kecil pembuat onar yang dikeluarkan dari kelas di hari pertama parktikum itu beriringan menuruni tangga menuju kantin Sapta. Makan.


Note : Setelah kenyang makan gado-gado dan jus mangga, saya pulang. Pas di deket pintu kecil FAPERTA saya lihat-lihat majalah TARBAWI yang dijual mas-mas di atas dipan lipat itu. Dan pagi itu menjadi penuh kesan lagi karena tulisan saya dimuat di TARBAWI. Tulisan pertama saya yang dimuat di media cetak dan dibaca banyak orang. 

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...