Aku sudah berdandan cantik dan menunggunya di depan pintu rumah. Bedak tabur putih itu belepotan di mukaku, Mbak Iti memakaikannya sembarang saja. Rambut kucir dua ku, tertutup jilbab putih dengan peniti di leher, kebesaran.
Seperti haru-hari yang lain, sore ini pun aku sedang menunggunya pulang. Dia memang selalu pulang sehabis ashar, meskipun sesekali lebih larut. Aku menunggunya, bukan karena aku merindukannya. Waktu itu, manalah tahu aku apa itu rindu. Aku menunggu apa yang ada di dalam tas jinjingnya. Tas yang terbuat dari tali plastik biru itu, di dalamnya ada aneka makanan, krupuk, roti kasur, klepon, tahu pong, dawet dan buah jeruk kesukaanku. Sesekali ku dapati susu kaleng coklat kesukaanku. Susu itu adalah dopping ku jika tubuhku mendadak lemas tanpa alasan. Terkadang isinya adalah apa yang sudah ku pesan pagi tadi. Karena setiap pagi sebelum pergi, dia akan bertanya "Njaluk ditumbaske oleh-oleh opo Ar?"
Oh itu dia. Aku melihatnya di jalan depan rumah pak Mun. Dia turun dari sepedanya dan menuntun sepeda itu ke rumah. Di punggungnya ada tas jinjing yang digendong dengan jarit lurik khas wanita pekerja pasar. Boncengan belakang sepedanya ada segulung bagor plastik.
Aku segera berdiri menyambut dia. Menunggu dia menyetandarkan sepeda ontel tua itu sebentar, lalu bertanya setengah berteriak "Oleh-olehe nopo Mak?". Dia, dengan wajah lelah itu, tersenyum padaku dan menurunkan tas plastik biru dari gendongannya. Dengan tak sabar ku bongkar isinya di depan pintu. Ku ambil pisang molen pesananku. Dan akupun berlari ke masjid bergabung dengan teman-temanku. Takjilan sore ini pak Muslih sudah berjanji akan mengajarkan nyanyian baru dan juga bercerita.
Wanita itu, Mae, segera memasuki rumah. Merapikan gulungan bagor plastik yang dia bawa dan meletakkannya di bawah amben ruang tengah rumah kami yang lantainya masih tanah. Dan dia pun bergegas mengambil air wudhu, melaksanakan sholat ashar yang sudah terlambat itu.
Di ujung sujudnya, tak lupa ia selipkan doa-doa terbaik untuk ku, Mbak Iti dan Mas Heri. Juga permohonan agar esok hari dagangan sayurannya bisa lebih cepat laku, agar dia bisa segera pulang dan bisa sholat ashar berjamaah di masjid. Saat itu, malaikat sedang berbaik hati, hingga beberapa doanya segera di acc dan dikabulkan tanpa menunggu lama.
Mae lalu menuju dapur setelah melipat mukena terusan yang warnanya sudah berubah itu. Dia harusnya sanggup membeli mukena baru lebaran nanti. Tapi, sepertinya membeli baju buat ku, mbak Iti dan mas Heri lebih menjadi prioritasnya.
Karena ini Ramadhan, maka ada sebuah menu yang wajib dibuatnya, yaitu wedang jahe untuk buka puasa anak-anak di masjid. Mae memasak sepanci besar air di luweng dengan merang. Merang sisa panen sepekan lalu memang masih menumpuk beberapa bagor di luar. Karena tak banyak digunakan di sawah maka sebagian besarnya dipakai untuk menggantikan peran kayu bakar. Hasil pembakaran merang itu membuat wangi wedang jahe buatan Mae jadi khas. Yup, bau sangit. Dan bau sangit yang bercampur dengan manisnya gula merah plus harumnya jahe bakar geprek, membuat wedang jahe Mae selalu menjadi primadona sebagai minuman berbuka puasa. Apalagi terlihat di dekat pintu itu, sudah ada beberapa plastik hitam yang tampak berminyak. Pasti isinya tahu susur, bakwan atau tempe glepungan. Oh lihat...bahkan aku melihat potongan pepaya yang menyembul dari kain penutup piring besar itu.
Aku yang tengah mendengarkan cerita Pak Muslih, tergoda dengan harum wedang jahe buatan Mae yang dibawa ke masjid. Mae sudah berganti baju dan terlihat lebih segar. Mungkin dia sudah mandi, pikirku. Dia melihat ke arahku sejenak, dan tersenyum. Aku tahu arti senyumnya itu. Di sana, di dalam rumah kami, di atas amben kayu ruang tengah, pasti sudah ada segelas susu coklat panas dan kepala ayam bacem kesukaan ku. Aku membalas senyum Mae. Senyum yang jika bisa ku artikan dengan kalimat, maka ia akan berbunyi "Mae, terimakasih ya...".
Lamat-lamat ku dengar suara Kiai Haji Zainudin MZ dari radio 4 batre kami. Beliau sedang berceramah tentang pentingnya sholat. Sebentar lagi pasti adzan maghrib akan segera berkumandang dari stasiun radio RSPD itu. Yah, sebentar lagi, wedang jahe Mae akan menjadi penghilang dahaga kami semua.
Aku yang tengah mendengarkan cerita Pak Muslih, tergoda dengan harum wedang jahe buatan Mae yang dibawa ke masjid. Mae sudah berganti baju dan terlihat lebih segar. Mungkin dia sudah mandi, pikirku. Dia melihat ke arahku sejenak, dan tersenyum. Aku tahu arti senyumnya itu. Di sana, di dalam rumah kami, di atas amben kayu ruang tengah, pasti sudah ada segelas susu coklat panas dan kepala ayam bacem kesukaan ku. Aku membalas senyum Mae. Senyum yang jika bisa ku artikan dengan kalimat, maka ia akan berbunyi "Mae, terimakasih ya...".
Lamat-lamat ku dengar suara Kiai Haji Zainudin MZ dari radio 4 batre kami. Beliau sedang berceramah tentang pentingnya sholat. Sebentar lagi pasti adzan maghrib akan segera berkumandang dari stasiun radio RSPD itu. Yah, sebentar lagi, wedang jahe Mae akan menjadi penghilang dahaga kami semua.
Kesehatan Ayam Tercinta kita perlu kita jaga juga.
ReplyDeleteDalam kali ini saya akan memberikan sedikit pengetahuan untuk kesehatan Ayam Kesayangan kita.
Berikut artikel yang barusan saya update.
Cara Merawat Ayam Betet Yang Benar
https://tajenonline.net/cara-merawat-ayam-betet-yang-benar/
Terima kasih sudah menerima Komentar saya