Skip to main content

Mae dan Karir-nya

Mae lahir dari keluarga petani sekaligus pedagang. Simbah dari Mae itu juragan beras dan tembakau. Mae sudah belajar jualan, nebas pari, jualan telur, dan lain-lain sejak beliau masih muda belia. Secara Mae memang drop out-an SMP. Beliau tak sanggup bersaing dengan siswa lain yang sepatunya lebih keren sedangkan sepatu Mae waktu itu jebol-jebol. Ya gimana lagi, sepatu pasar Talun dipakai PP Talun-Muntilan tiap hari. Setabah-tabahnya sepatu, pasti dia mangap juga. Dan sepatu Mae yang mangap itu lah yang menyebabkan Mae akhirnya drop out.

Mae sendiri, sampai sekarang adalah pedagang. Waktu saya kecil beliau dagang sayuran. Beliau sampe ngirim-ngirim ke pasar-pasar induk di Solo dan Semarang. Beliau juga merapel jadi tengkulak. Tengkulak ala Mae jujur lho ya. Petani di desa kami biasanya minta dibelikan benih, pupuk dan obat, lalu hasil bumi mereka dijual kepada Mae sesuai harga pasar. Ga ada itu istilah harga belinya terlalu rendah. Ini sudah pernahs aya tulis di Kompasiana. Ini link nya http://www.kompasiana.com/www.aenipranowo.com/tak-selamanya-tengkulak-merugikan-petani_54f77a18a33311f46a8b4587

Dulu Mae kirim dagangan itu sendiri. Pagi-pagi berangkat dari rumah setelah subuh. Lalu mencari pesanan sayuran ke petani yang menjual hasil panennya di pasar Talun. Setelah semua terkumpul, masuk ke mobil bak terbuka, sekitar jam 9 pagi sudah berangkat ke Solo atau Semarang. Sampai sana bongkar muatan, nagihin uang ke pedagang yang beli, terus pulang. Pada fase ini Mae menjadi pedagang 'LUAR PASAR' karena memang arena bermainnya di luar pasar. Paling cepat Mae baru sampai rumah setelah Ashar sebelum Maghrib. Begitu terus setiap hari, sampai akhirnya Negara api menyerang *ehh....

Akhirnya, mulailah rumah Mak Tuwo (simbah) di Talun dipasang telpon rumah. Nah, pedagang dari Solo dan Semarang tiap pagi tinggal telponan sama Mae menyebutkan pesenan mereka. Mae belanja, barang di muat di mobil, sopir dikasi ongkos, nanti uang hasil penjualan dititipkan ke sopir sama pedagang yang di Solo dan Semarang. Dengan begitu, Mae jadi bisa pulang lebih gasik. Jam 1 atau jam 2 siang sudah sampai rumah. Oleh-olehnya pasti banyak. Dan itu yang paling penting hehehe

Lalu, seiring berjalannya waktu, krismon datang. Banyak pedagang yang tak bisa bertahan dari gempuran jahat krismon. Satu dua yang masih sanggup bertahan memilih mencari dagangannya langsung ke pasar Talun. Dan Mae tambah senang. Karena beliau tak harus deg-degan saat barang masih di jalan. Kali ini, transaksi kontan dilakukan di pasar Talun. Tepat di serambi rumah Mak Tuwo yang sekarang ditempati Pak Lik saya, Pak Sis.

Namun tak berapa lama, dibukalah pasar sore Ndukoh, di atasnya pasar Talun. Pedagang sayuran pagi di pasar Talun jadi lebih sering ngaplo karena menerima dagangan sisa sore hari. Ya pastinya para petani lebih senang menjual dagangannya langsung sepulang dari sawah to, daripada memeramnya dulu semalam untuk dijual paginya. Dan ini benar-benar membuat pedagang pagi pasar Talun menyerah.

Tapi, bukan Sri Aminah kalau begitu saja menyerah *sombong dikit ya....

Mae akhirnya memutuskan mengganti barang dagangan. Bukan lagi cuma sayuran, tapi juga beras, jagung, dan lain-lain yang lebih tahan lama. Selain itu, Mae memutuskan membeli Kios di pasar Talun yang akhirnya Kios itu dipegang oleh mbak Iti, kakak saya.

Rezeki memang tak kemana. Tiba-tiba, dasaran (dasaran itu tempat jualan terbuka, tidak bertembok, hanya beratap, dengan beberapa kotak kayu untuk menyimpan dagangan) di depan Kios nya mbak Iti yang dulu buat jualan krupuk, DIJUAL!! Dan pemiliknya berharap Mae yang membeli dasaran itu plus grobognya. Kalau perlu se-krupuk-krupuknya.

Akhirnya Mae membeli dasaran itu. Dasaran yang letaknya pas di loongokan pintu pasar, depan jalan masuk, depan Kiosnya mbak Iti. Di dasaran itu Mae memutuskan jualan beras, gula jawa, katul, jagung, kelapa, and many more hahaha. Iya..soalnya kadang jualan cabe juga. Kadang sedia bawang juga. Kalau pas mau lebaran jualan kue juga. Pokoknya apa yang laku dan menguntungkan dijual. Oh...itu Ilmu yang saya serap sedalam-dalamnya, sehingga sekarang saya jualan apa aja bahkan pete, jenang, indomie, kartu perdana, buku, wis apapun.

Dengan berjualan di dasaran ini, Mae resmi meraih gelar pedagang "NJERO PASAR" karena memang area mainnya ada di dalam pasar. Sisi kiri depan dasaran Mae akhirnya dikontrakin ke penjual daging ayam. Sudah 2x ganti personel. Dulu yang ngontrak namanya bu Abu, istrinya pak Abu. Beliau ngonttrak kalau ga salah sejak saya masih di Bogor sampai akhirnya meninggal sebelum saya menikah. Lalu yang menggantikan adalah Mbak Dah, sampai sekarang.

Bersama dengan Mbak Dah, Mae memantapkan karirnya sebagai pedagang sampai detik ini. Kalau pagi, karena Mbak Dah selalu datang lebih pagi, maka dasaran itu yang membuka Mbak Dah. Kalau jam sholat dhuha, Mae tinggal saja dasaran itu yang jagain mbak Dah. Kalau masih rame tapi Mae ada acara, dan mbak Dah ayamnya masih ada, maka Mae bisa tetap pergi, nanti dasaran yang nutup Mbak Dah.

Kalau dulu, waktu saya dan kakak-kakak masih kecil, kami selalu senang nusul Mbah Putri yang juga punya dasaran di pasar Muntilan. Mbah putri dulu jualan klembak, menyan, sandal, karet, dan aneka rupa. Kami senang nusul mbah Putri lalu masuk ke grobog yang kosong karena klembaknya sedang dijual di luar. Lalu sama mbah Putri kami dipesankan Mie Godog. Enaaaak banget. Pulangnya disangoni, dan bisa bawa pulang banyak karet gelang buat main lompat tali. Kalau sendalnya putus tinggal ambil.

Sekarang, Nasywa kalau lagi di Selo juga pasti senang ikut Mae ke pasar. Bilangnya sih 'bantuin' jualan. Meskipun pada kenyataannya kerjaanya cuma mainan timbangan sama beras.



Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya ๐Ÿ‘‰     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? ๐Ÿ˜… 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah ๐Ÿ˜‚) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...