Skip to main content

Ribut


Sama seperti aku mengenal Abu yang hanya tahu nama panggilannya saja, demikian juga bagaimana aku mengenal Ribut. Semua orang di kampung Selomerah dan sekitarnya tahu siapa Ribut. Dia bernasib sama dengan Abu, cuma Ribut punya kisah pilu dibalik ketidakwarasannya. Konon katanya, dia dulu pernah punya suami dan juga anak. Sayangnya, anaknya meninggal saat usianya masih bayi. Dan karena sebab itulah dia jadi depresi. Karena depresi maka suaminya pun meninggalkan dia, sampai sekarang.

Tak seperti Abu, rebut dulu suka mengamuk. Oleh keluarganya dia sering dikurung di dalam rumah dan tidak diberi makan. Kasihan sekali. Lalu, Ribut pun mulai mencari makanan dengan cara meminta pada orang-orang di kampung kami. Tak jarang hingga ke kampung-kampung sebelah. Dia tak pernah minta uang, beda dengan Abu. Dia minta nasi dan teh.

Seingatku, Ribut mulai masuk menjadi bagian dari keluarga kami sejak tahun 2000. Aku ingat sekali waktu pulang dari Bogor, kaget pagi-pagi Ribut dating ke rumah. Awalnya aku takut, tapi kata Mba Pur (kakak Iparku yang membawa Ribut), dia cukup aman dan tidak akan melukai. Nah sejak saat itu, setiap pagi Ribut akan dating ke rumah kami, sekitar pukul 5:45 pagi. Hal pertama yang akan dia lakukan adalah mengamankan harta rampasan perang makanan sisa, baik itu nasi, sayur, lauk, snack dan tidak lupa teh dari dalam termos. Mae selalu menyediakan plastik baru dan Ribut bisa mengambil sendiri untuk wadah semua hartanya itu. Kalau kebetulan nasi kami habis, atau tidak ada sayur sisa, maka dia akan menunggu sampai Mba Pur selesei memasak dan dia minta jatah. Kalau tidak ada teh sisa di termos, dia akan merebut sendiri air panas di ceret. Rebusnya pun tidak di dalam rumah, tapi di luweng luar rumah. Air yang sudah mendidih akan dia bawa pulang seceretnya, nanti sekitar habis Dhuhur dia akan datang mengembalikan ceret kosong. Karena ulahnya itu akhirnya Mae memutuskan membeli ceret baru, jadi secara de vacto Ribut punya ceret di rumah kami sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu dia harus merebus air.

Meskipun dia kurang waras, tapi dia jujur sekali. Tak pernah sekalipun dia mengambil barang yang bukan haknya. Kalau dia pingin lauk, atau apapun yang ada di rumah tapi tidak di tempat yang biasa kami menaruh makanan sisa, dia akan meminta. Memintanya pun dengan senyuman dan gaya tubuh yang lucu "Aku njaluk siji mas.." begitu dia bilang. Kalaupun ada makanan yang hilang dan dibawa rebut, itu sungguh bukan salah dia, tapi salah yang naruh makanan. Bagi Ribut, pojokan dipan kecil di dapur tempat rajang-rajang itu adalah wilayahnya. Apapun yg ada di sana, baik sengaja diletakkan atau lupa ditaruh di sana adalah miliknya.

Tugas Ribut di rumah kami adalah menyapu halaman rumah, membersihkan sampah sisa pilihan cabai semalam, menyapu bagian dalam rumah, mencuci gelas-gelas dan perkakas kotor, mencuci baju, dan menjadi asisten koki alias Mbak Pur saat memasak. Jangan ditanya bagaimana tingkat kepuasan kami dengan kinerja Ribut. Kalau dinilai antara 1-8 dengan angka tertinggi sebagai kepuasan tertinggi maka Ribut mendapat nilai 3. Dia kalau nyapu ga pernah bersih, nyapunya kilat sret sret sret ga pake dirogoh-rogoh bagian bawah kursi dan meja. Kalau nyuci gelas hasilnya gelasnya malah lebih kotor dari sebelumnya karena kena angus pantat panic atau sisa minyak menempel dan paling sering gelasnya pecah. Kalau nyuci baju juga sekenanya, apalagi kalau njemur pakaian ga pakai dibuka cuma dislampir-slampirkan sesukanya. Lalu apakah itu salah Ribut? yah tentu saja salah kami, sudah tahu begitu hasil kerjanya tapi tetep nyuruh dia mengerjakan pekerjaan itu.

Bagi Ribut, di dalam rumah Mae yang penghuninya ada 5 orang (Mae, mas Heri, mbak Pur, Syifa, Beryl) dan kadang-kadang juga aku kalau sedang pulang, hanya mbak Pur seorang yang harus dipatuhi. Kata orang-orang mb Pur itu pawangnya Ribut. Ribut ga akan mau disuruh kerja oleh siapapun kecuali mbak Pur. Meskipun kami manggil dia teriak-teriak dia ga akan menggubrisnya, padahal kalau mba Pur yang manggil dengan nada rendah pun dia langsung nengok. Alhasil kalau mau minta Ribut mengerjakan sesuatu biasanya kami minta Mbak Pur yang nyuruh, bener-bener ga efisien.

Ribut suka sekali dengan anak kecil. Waktu Syifa masih bayi, dia kadang dipercaya oleh mbak Pur menjaga Syifa atau bahkan menggendong Syifa. Sampai sekarang, dia juga suka melihat Nasywa (anak ku) main. Dia akan memperhatikan Nasywa sambil tersenyum dan tertawa kecil. Kalau Nasywa nangis dia akan berusaha menghibur meskipun endingnya malah jadi menakuti. Tapi, meskipun begitu Syifa dan Nasywa selalu diolok-olok sebagai anaknya Ribut, karena memang waktu kecil Ribut punya andil mengasuh mereka.

Setiap hari Ribut dibayar 1000 rupiah oleh mbak Pur. Uang dikasih setelah semua pekerjaan selesei. Kalau mbak Pur masih sibuk biasanya dia akan pulang dulu, dan datang lagi meminta upah siang harinya. Tapi, kadang-kadang tanpa sepengatuan mba Pur dia juga minta uang ke Mae waktu Mae mau berangkat ke pasar. "Mas Kaji ndi aku njaluk duite" katanya selalu. Kadang-kadang dia juga minta aku, tapi lebih sering minta baju padaku daripada minta uang. "Mas, aku njaluk klabine mas" begitu biasa dia bilang kalau lihat aku ada di rumah. Kenapa semua dipanggil 'Mas'? yah memang di kampung kami, seseorang yang derajatnya kebih tinggi, biasanya karena factor kepemilikan Tanah atau kepemimpinan di keluarganya, akan dapat panggilan 'Mas' baik itu laki-laki maupun perempuan. Tapi, seumur aku tahu Ribut, belum pernah aku lihat Ribut bicara sama Mas Heri. Hahaha mungkin dia udah takut sebelum bicara.

Ngomong-ngomong soal baju, Ribut suka sekali pakai daster lengan pendek. Kalau aku kasih daster lengan panjang ya dia akan potong lengannya jadi pendek. Dia selalu melilitkan selndang di pinggangnya, di situ tersimpan uang jajanya Ribut. Pernah dia aku kasih kaos lengan pendek. Esok paginya udah dia make over jadi kayak kaos anak gaul. Lengan dipotong lebih pendek, dan bagian belakang ditali pakai karet gelang. Ah, dia juga selalu pake karet gelang di lengannya. Dandanannya selalu rapi dan bersih, bahkan dia pakai bedak setiap hari. Kucir satu belakang, dilengkapi pita sobekan kain, kadang juga ditambah bunga yang disisipkan di atasnya. Tipikal dandanan orang kurang waras banget.

Kalau Ribut absen, alias ga masuk kerja, hanya ada dua kemungkinan. Pertama dia sakit atau dia ga butuh makanan lagi. Biasanya ini terjadi kalau tetangga rumahnya punya hajatan, kawinan misalnya. Karena dari tetangganya itu dia bisa dapat makanan dan teh yang meimpah ruah. Tapi kalau dia sakit, biasanya Mbak Pur akan membelikan obat, seperti ultraflu dan teman-temannya itu. Paling dia absen 2-3 hari dan datang sudah segar lagi.

Meskipun Ribut berisik karena dia suka ngomong sendiri, tapi bagi kami dia sudah seperti keluarga sendiri. Bisa dipercaya dan diandalkan untuk hal-hal tertentu. Keluarganya juga sangat berterimakasih kepada kami karena sudah menerima Ribut apa adanya (kayak dikawinin aja wkwkwk). Jadi, tahun ini Ribut sudah bekerja di rumah kami selama 15 tahun. Dan gajinya sekarang naik jadi 2000 rupiah sehari. Pekerjaanya sekarang lebih ringan karena Mbak Pur punya asisten lain yang tentu saja tidak waras. Jadi, tugas pokok rebut adalah membersihkan halaman dan sisa sampah cabai plus harus standby di dapur untuk disuruh ini dan itu, beli ini dan itu.

Semoga Ribut selalu sehat, awet muda, tambah cantik dan sholihah selalu...Aamiin


Yamaguchi, 2015.7.8
Ramadhan ke 20

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...