Skip to main content

[Fiksi] Gadis 12:30

“Mau kemana Ken?” terdengar suara Linh dari ujung ruangan. “Mau kemana lagi dia selain menemani makan gadis misteriusnya itu” jawab Kim sambil meneguk kopi yg masih panas sehabis menghabiskan makan siangnya. Ken Cuma tersenyum, keluar dari student room. Sejujurnya dia cemas hari ini, apakah gadis itu akan muncul lagi? Karena selama seminggu ini dia tidak pernah lagi melihat gadis manis berpakaian aneh itu.

Ken melihat jarum jam, jam 12:35, dan dia mempercepat langkah kakinya menuju kantin kampus yang terletak di sebelah utara laboratoriumnya. Langit terlihat biru cerah, benar-benar panas siang itu. Ken melangkah masuk menuju counter makanan sambil sesekali melihat ke deretan meja makan, memastikan kehadiran gadis itu, gadis 12:30. Ken tak melihat ada gadis itu di bangku-bangku itu, “mungkin dia masih di jalan” hatinya menghibur. Setelah membayar, Ken menuju pojok ruangan. Kantin itu beratap sangat tinggi. Bagian utara ruangan berdesain seperti kantin pada umumnya. Tapi bagian utara berdesain seperti café dengan gorden yang panjang dengan jendela-jendela kaca di kanan kirinya. Saat spring kita bisa makan sambil melihat sakura dengan jelas, karena depan kantin banyak ditanam pohon sakura.

Pukul 12:50, dan gadis itu tetap tidak muncul. “Apa dia sakit ya?” pikir Ken lagi sambil menyantap potongan terakhir ebifurai dari piringnya. Dia benar-baner mengutuki kebodohannya selama ini yang tak pernah berani mengulurkan tangan dan berkenalan. Dia bahkan selalu menjaga jarak ketika mereka bertemu di kantin, meski posisi Ken selalu tepat di jam 12 posisi gadis itu.

Awalnya Ken tak begitu memperhatikan gadis itu, hingga suatu hari tanpa sengaja mata mereka bertemu. Hanya sedetik, bahkan mungkin taka da, tapi Ken sudah terlanjur jatuh cinta. Gadis yang ceria, karena jika makan dengan temannya pasti gadis itu banyak tertawa dan bercanda. Gadis yang kecil badannya tapi porsi makannya banyak. Kadang dia tersenyum melihat baki makan gadis itu. Satu set makan siang berisi nasi, lauk plus salad dan miso siru, masih ditambah dengan gorengan dan pasti secawan kue coklat, atau kadang cocktail buah dan yogurt. Dia saja tak pernah makan sebanyak itu. Lama-lama Ken sering mencuri pandang gadis manis itu. Menikmati lesung pipinya saat tertawa. Memandangi lama-lama wajah imutnya saat dia makan sendiri sambil sibuk dengan hpnya. Kadang Ken penasaran dengan yang dibaca gadis itu di ponselnya, karena gadis itu bisa tiba-tiba senyum-senyum sendiri. “Mungkin cerita lucu” pikir Ken.

“Kenapa tidak kau buntuti saja gadis itu Ken, kan kau bisa tahu dimana Kenkyu nya” kata Kim beberapa bulan lalu. “Ya…aneh saja, kalau dia sadar dia ku buntuti gimana?” Tanya nya. “Lagian ini sudah sebulan, kerjaanmu cuma lihatin dia makan, ga berani kenalan, payah banget sih kamu Ken. Kamu tuh keren, ga bakal juga dia nolak Ken, yakin deh. Kecuali dia wanita aneh, kayak pakaiannya yang, ah menurutku aneh saja, musim panas begini kok pake baju lapis-lapis gitu”. Ken hanya bisa diam. Tapi, mungkin itu juga yang membuat Ken begitu tertarik, gadis itu memakai pakaian yang mudah dikenali. Blues panjang dengan paduan rok senada atau warna-warna netral. Dan tutup kepala dengan warna dan desain yang elegan, menutup hingga ke pinggangnya. Anggun dan cantik dilihat. Dia selalu memakai tas warna ungu, atau kadang hanya menenteng dompet pinknya. Dia hanya makan ikan, atau sayuran. Petugas kantin sudah tahu bahwa dia tidak bisa makan daging, “mungkin dia vegetarian” pikir Ken.

Sudah sebulan sejak terakhir dia melihat gadis 12:30 itu. Yah, gadis yang selalu datang ke kantin pukul 12:30, sama seperti Ken. Entah apa alasannya, mungkin sama dengan Ken, menghindari antrian di kasir. Dan siang ini Ken tak terlalu berharap gadis itu akan muncul. Linh bilang “Mungkin dia sudah selesei dan pulang ke negaranya”.

Sampai di tangga kantin, tak sengaja Ken ditabrak oleh seorang mahasiswa yang terburu-buru dan ponsel di tangannya terjatuh. Saat dia mengambil ponselnya itu, dia melihat di sana, di jarak 20 m arah perpustakaan, seorang dengan tutup kepala warna pink, berjalan sambil menikmati udara yang mulai nyaman karena summer sudah berakhir. Ken mematung, beberapa detik lewat, gadis itu semakin dekat, dan tiba-tiba saja, koin 100 yen di saku bajunya menggelinding, berhenti tepat di kaki gadis itu. Gadis itu berhenti, mengambil uang itu, dan mengantarkan pada Ken yang masih membeku di ujung tangga. “Anata no?” tanya gadis itu. Dan Ken hanya bisa mengangguk, melihat senyuman hangat itu dari dekat. Dan jam tangan ken berderit pelan, alarm tanda pukul 12:30.


Note : Tulisan fiksi ini pernah dimuat di Kompasiana pada 15 Oktober 2014
Link : http://www.kompasiana.com/www.aenipranowo.com/gadis-12-30_54f41dd87455139d2b6c8594

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...