Skip to main content

Anak Yatim, Anak Mulia

"... Anak yatim anak yang mulia, dilindungi Allah setiap masa.."

Itu adalah penggalan lirik lagu dari group Nasyid kenamaan, Raihan, yang judulnya "Nabi anak yatim". Pertama kali mendengar lagu itu aku langsung jatuh cinta. Serasa dapet SK pengangkatan dan kepastian, bahwa anak yatim sejatinya adalah mulia dan akan selalu dilindungi oleh Allah, sepanjang masa. Keren banget kan? Dan aku, termasuk dalam sekelompok kecil itu. Ya, aku anak yatim. Pae, demikian aku memanggil bapakku, meninggal saat aku berusia 3 tahun. Aku ingat sekali beberapa minggu menjelang ajalnya, beliau sudah dipindahkan ke rumah. Yah, sudah terlalu lama beliau dirawat di rumah sakit karena kanker tulang yang sudah menggerogoti paru-parunya. Beliau lalu dibuatkan kamar semi permanen di dekat pintu tengah rumah lama kami. Disekat dengan lemari baju, berhadapan dengan kamar tidur semi permanen yang hanya dibatasi triplek setinggi 2/3 dari tinggi rumah kami yang biasa dipake aku, mbak Iti mas Heri dan Mae tidur. Ranjang gonjang-ganjing itu terlalu lama bersetia menahan beban tubuh kami bertiga hingga beberapa tahun kedepan setelah Pae meninggal.

Tak banyak memoriku tentang Pae, 3 tahun  itu usia yg terlalu rendah untuk mengingat detail peristiwa. Namun ada beberapa serpihan memori yang masih selalu ku simpan rapi. Ada sepotong memori tentang suatu hari aku digendong Pae di luar rumah dekat bunga mawar putih dan merah yang tumbuh subur di depan rumah sebelah barat. Aku digending samping pakai jarit (kain batik panjang) dan  Pae sedang ngulek slondok. Kenapa slondoknya diulek? Karena aku pingin makan slondok, dan mungkin usiaku waktu itu 2 tahun an, tentu belum cukup kuat giginya untuk ngremus slondok yang atos itu. Dan karena zaman itu belum ada blender wong listrik saja belum pasang, maka diulek adalah jalan terbaiknya.

Ada satu lagi kisah ku dengan Pae yang sampai sekarang mengingatnya membuat aku harus menahan sekuat tenaga biar ga nangis. Suatu pagi, Mae sedang ke pasar, cuma ada aku, Pae dan Lik Sih,  yang momong aku. Tetiba Pae memanggilku "Ari, rene Ar" aku yang masih imut itu pun menunju ke kamar Pae. "Tulung Pae dijungkati yo Ar, sesuk nek Pae wis mari tak tukokke klambi". Mungkin saat itu, Janji yang Pae buat untukku adalah sebuah penyemangat, karena Pae ingin sembuh dan membelikan aku baju. Aku tak peduli dengan janji itu sebenarnya, tapi, suatu hari beberapa bulan setelah Pae meninggal, Mae membelikan aku baju baru. "Iki ditumbaske karo Pae" kata beliau.

Di dunia ini, ada banyaak sekali anak yang yatim. Ada yang kehidupannya bias berjalan dengan baik tanpa masalah tanpa kekurangan tanpa kesedihan, tapi banyak juga yang harus menjalani masa-masa kecil sebegitu kelabu setelah meninggalnya salah satu orang tuanya, bahkan berlanjut sampai dia dewasa. Aku, termasuk di golongan pertama. Meskipun setelah Pae meninggal ada banyak sekali hutang yang harus dibayar Mae karena biaya pengobatan Pae yang tidak sedikit, tapi kegigihan Mae berdagang dan tentu saja karena pertolongan Allah, semua bisa diatasi. Bahkan kami termasuk dalam kategori berlebih untuk urusan harta. Tempat para petani datang berhutang itulah rumah kami. Tempat orang yg sakit minta obat itulah rumah kami. Kotak obat peninggalan Pae itu tak pernah kosong dari obat-obat generic untuk penyakit yang ringan-ringan.  Rumah tua peninggalan mbah buyut itu juga selalu dijaga Mae dengan baik, meskipun akhirnya saat aku SD Mae membangun rumah gedong sendiri di sebelah rumah lama. Rumah berkamar tiga yang lebih nyaman. Lalu setelah mas Heri menikah rumah lama dipakai mas Heri, dan sekarang sudah direnovasi menjadi lebih kekinian.

Kisah hidupku pun tak melulu mengharu biru. Meski penuh perjuangan, tapi akhirnya bisa terlampaui hingga sejauh dan setinggi ini, aku bahkan tak pernah mengira. Tentu, ada doa Mae yang selalu mengiringi kepakan sayapku, laksana angina yang membuat sayap itu terbang tanpa goncangan. Ada orang-orang luar biasa yang dikirim Allah dalam hidupku. Memberikan penguatan, pengalaman, kebahagiaan, pelajaran, komplit semua ada. Dan bagiku, itu semua menjadi bukti kebenaran bahwa anak yatim itu akan selalu dilindungi, tentu jika dia memang ingin dilindungi.

Jadi, bagi kamu yang ternyata juga Yatim, atau Piatu sekalipun, ingatlah kita punya Allah. Apa sih yang ga mungkin DIA lakukan. Asal kita yakin, mau menyematkan mimpi-mimpi setinggi mungkin dan menyiapkan piranti untuk meraihnya, melakukan yang terbaik, maka kesuksesan itu bukan hal yang tidak mungkin. Jangan lupa, selalu mintakan doa dari orang-orang di sekitarmu. Karena kita tak pernah tahu dari mulut siapa doa itu akan dikabulkan.


Yamaguchi, 2015.07.07
Ramadhan ke-19

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...