Skip to main content

ABU -- si penyuka 'Merah' dan 'Ijo'

Ngomong-ngomong soal doa, saya selalu percaya, bahwa selain doa-doa baik dari Mae dan saudara-saudara yang lain, ada seseorang yang doanya tentang saya didengar oleh malaikat dan langsung diACC saat itu juga, atau beberapa waktu kemudian. Dia adalah Abu.

Saya tidak tau nama aslinya dan nama lengkapnya. Sejak kecil saya selalu mendengar orang-orang memanggilnya Abu. Orang-orang dari luar kampung memanggilnya Abu Selo, sesuai asalnya, Selomerah. Saya juga tidak begitu yakin dengan usianya saat itu, tapi kalau dibandingkan dengan saudara-saudaranya mungkin waktu itu dia diusia 40an atau mungkin juga lebih. Tapi, saya pernah mengamati detail guratan wajah Abu sehabis mandi. Bersih, tanpa keriput dan masih innocent. Wajah anak-anak sekali. Sayangnya, Abu mandi bisa sebulan sekali atau dua bulan sekali. Jangan ditanya baunya. Bau khas Abu bisa terdeteksi dari jarak 500m. Baunya juga baru hilang setelah 15 menit dia meninggalkan rumah.

Abu selalu berjalan keliling kampung, masuk dari rumah kerumah untuk meminta uang. Uang itu konon katanya sampai menumpuk di bawah kasur. Biasanya dipakai untuk beli tembakau dan cengkeh. Dia suka melinting rokoknya sendiri, bukan menghisap rokok kretek buatan pabrik. Yah maka itu  bau tubuhnya kecut kecut asap rokok yang sudah tersedimentasi hingga ke dasar-dasar kulit dan ke tiap helai rambut plus di setiap detail tenunan kain sarungnya.

Abu akan datang ke rumah sekitar tengah hari, jam 2 atau sore hari jam 4-5. Suara sandal yang diseretnya pun khas. Saya yang kamarnya persis di debelah jalan tahu betul kalau Abu akan datang. Dan tahukah kau, meski saya ga suka baunya, tapi saya selalu menunggu suara seretan sandalnya Abu. Begitu mendekati pintu Abu akan berteriak "Abang, sugih munggah kaji!". Itu artinya, dia minta uang yang warna merah (uang 100 rupiah lembaran tempo dulu). Saking sukanya sama Abu, saya bahkan punya dompet sendiri yang isinya adalah kumpulan uang 100 rupiah lembaran merah. Dari yang lecek sampai yang klimis baru keluar dari BI. Semua disiapkan untuk  Abu. Karena kalau ga ada uang itu, Abu akan pergi sambil berkata yang saru-saru.

Biasanya, sambil menyerahkan uang merah itu, saya akan bilang "Dongakke pinter ya Bu.." dan diapun langsung merespon "Sugih, pinter, munggah kaji". Hmm..dari ketiga doa itu rasa-rasanya semua sudah dikabulkan, meskipun yang terakhir masih dalam masa tunggu.

Terkadang Abu juga minta minum, dan Mae akan membuatkan teh panas untuk Abu. Waktu sekitar 10 menit saat Abu menghabiskan minumnya itu kami harus pinter-pinter bernafas. Tapi, saya selalu suka moment-moment itu. Mengintip dari balik kelambu saat Abu menghabiskan minumannya sambil makan cemilan apa saja yang Mae kasih. Mulutnya keclap keclap. Sisa-sisa makanan ada di pinggir mulutnya, lalu jatuh ke bajunya yang lusuh, persis anak kecil yang sedang makan.

Setelah krisi moneter melanda Indonesia, selera Abu berubah. Dia tak lagi minta yang merah, tapi ijo, alias uang 500 rupiah yang gambar monyet itu. "Ijo, sugih, munggah kaji". Sampai sekarang, saya bahkan masih punya koleksi uang 500 rupiah gambar monyet itu plus uang 100 rupiah merah yang dulu disukai Abu. Meskipun tinggal beberapa lembar, tapi bagi saya mereka adalah prasasti. Bahwa di sepenggal episode masa kecil saya, ada Abu dengan doa-doanya itu.

Sayangnya, Abu sudah meninggal. Meninggalnya Abu diawali dengan hilangnya dia beberapa hari tanpa jejak. Hingga suatu hari ada yang melihat Abu tidur di emperan toko di daerah Sleman. Dan ketika pihak keluarga kesana, Abu sudah dalam keadaan sakit parah. Dan dia meninggal hari itu juga.

Abu, terimakasih sudah selalu setia dengan default doa yang kau panjatkan buat kamu. Doa itu, tanpa kau sadari selalu menjadikan kami lebih kuat menjalani hari-hari. Semoga kuburmu dilapangkan, terang benderang. Hangat namun tak panas, sejuk dan tidak terlalu dingin. Ada banyak uang seratus merah dan lima ratusan hijau di sana. Ada setumpuk  tembakau dan cengkeh yang siap kau racik kapanpun kau ingin. Tapi Abu, jangan lupa mandi ya....



Ditulis pertama kali di Yamaguchi, 2015.07.07--Ramadhan 19
Diedit pertama 2017.07.10

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...