Arini melirik jam tangan Alexander Christie, sudah menjelang pukul lima sore. Dia menarik nafas panjang, sambil membatin dalam hati "mau sampai jam berapa rapat ini, gmn anak-anak pulang sekolahnya? huft". Rapat pembahasan perubahan kurikulum itu memang menguras banyak waktu, perdebatan berdasar kepentingan pribadi mewarnai jalannya rapat. Sudah sejak pukul empat tadi Arini hendak pamit, dia harus menjemput ketiga anaknya di sekolah, sayangnya ketua Jurusan melarangnya."sebentar lagi" katanya. Lima lebih lima belas, dia harus pergi atau anak-anaknya akan kelelahan menanti jemputan. Suaminya sedang keluar kota, baru nanti malam pulang. Sedangkan Arista tak bisa menyetir mobil, ga mungkin bolak balik 6 kali menjemput mereka satu persatu pakai motor, sedang jarak rumah sekolah 10km. Sejak tadi Arista juga mengirimkan sms, menanyakan "Mbak, anak-anak gimana? apa saya jemput saja?" tapi dibalas Arini "tidak usah, sebentar lagi aku selesei". Dia pun akhirnya keluar tanpa izin, anak-anak lebih penting dari rapat ga jelas ini, gumamnya dalam hati.
Jalanan macet membuat mobil Honda Jazz biru metalic itu berjalan merayap pelan. Pak penjaga sekolah sudah menelpon, "Ibu mau jemput jam berapa ya?mereka ga nangis sih, tapi saya kasihan kayaknya mereka capek". Arini menjawab sambil tak enak hati "Sebentar ya pak, saya sedang di jalan, macet sekali ini". Pukul enam sore tepat Ariini sampe di gerbang sekolah. Si cantik Fatiya sudah manyun menyambut ibunya yang datang terlambat. Si gagah Farhan menenteng tas dan menggendong tas sepatu bolanya sambil tersenyum hambar. Si keren Firman berteriak "Ah..akhirnya datang juga, aku lapar ibu, capek, kenapa lama sekali?". Arini tersenyum "Maaf sayang...tadi rapatnya ga selesei-selesei, ga bisa ditinggal, tapi akhirnya ibu bolos juga demi kalian" Mereka bertiga masuk ke jok belakang, melempar sembarangan tas, meletakkan badan ndelosor kecapekan. Melihatnya Arini merasa bersalah. Ah, bahkan kewajiban antar jemput saja sering harus terkalahkan oleh kesibukannya sebagai sekretaris jurusan dan beberapa penelitian. Apalagi jika dia juga harus mengurus rumah, suami, pasti bakal keteteran semuanya. Arini menengok ke belakang "Mau mampir dulu kemana beli sesuatu ga?" "Gaaaa!!" jawab ketiga anak itu serempak sambil menutup mata. Handphone bergambar apel tidak utuh itu berbunyi, Arista menelponya lagi "Mbak, sudah kadi jemput?" Arini menjawab sambil tersenyum "Sudah, ini pada ngambek semua, bunda di rumah masak apa ya?" terdengar jeritan kecil di seberang sana "Bitin spadettiii!!". Arini menahan ketawa, si kecil mungil cerdas Ayunda ikut-ikutan bicara. "Tuh, bunda dah bikin spageti lho..ayo dong jangan ngambek gitu" Arini mencoba merayu ketiga prajurit kecil di belakang itu. "Ehh..pada ngambek? ga boleh sayang, kan Ibu tadi sibuk, maafkan bunda yang ga bisa jemput ya, bunda janji besok mau latihan nyetir mobil bisar bisa jemput kalian deh" Suara Arista dari speaker phone terdengar ikut merayu. Arini melajukan mobil biru itu secepat dia bisa, dan 30 menit akhirnya dia bisa sampai di rumah. Arista dan Ayunda sudah menunggu di pintu gerbang.
Arista, seperti biasa, mengenakan gamis berwarna kalem, dengan jilbab yang rapih dan senyum yang manis. Arini tersenyum, mereka berdua tersenyum. Dalam benak Arini, dia berpikir "Lihatlah wanita itu, sungguh anggun, sopan, manis dan menyenangkan ketika dilihat. Tidak seperti aku yang selalu kelelahan dengan pekerjaan" Di kepala Arista, dia pun berfikir "Ah, mbak Arini sungguh wanita luar biasa. Sibuk luar biasa, tapi selalu kelihatan cantik meski lelah di wajahnya jelas tergambar." Ketiga prajurit kelelahan itu segera masuk ke dalam rumah. Rumah itu memanjang, memiliki dua muka. Muka yang pertama menghadap ke kampung, muka yang satunya menghadap ke perumahan. Mobil biru itu di parkir lewat muka yang menghadap ke kampung. Setangah rumah ini bernuansa warna cream, dengan lima kamar, dua kamar utama dan tiga kamar anak-anak. Dapurnya berada di luar dengan setengah terbuka berbatasan dengan rumah kedua. Rumah ini yang selalu menjadi tempat mereka tidur, makan, belajar, nonton TV. Rumah kedua bernuansa lebih cerah, dengan ukuran yang lebih kecil hanya ada 3 kamar. Satu kamar utama dan 2 kamar lebih kecil. Jemuran ada di atas garasi kecil, ada Nissan Juke terparkir di dalamnya, serta satu sepeda motor matic. Halaman belakang yang menjadi pemisah antara rumah satu dan dua ditumbuhi aneka tanaman hias yang tampak terawat. Kedua rumah itu bersih dan nyaman. Di salah satu kamar rumah itu Arista menghabiskan malam bersama si kecil Ayunda. Sehabis maghrib, mereka berenam makan bersama di rumah pertama. Suasana seru seperti biasa, celotehan empat anak yang maunya semua bercerita duluan. Arini paling hanya bertahan 30 menit dengan keramaian itu, dia akan beralih ke ruang depan, membuka laptop, kembali ke pekerjaan. Bagian selanjutnya akan dituntaskan Arista. Arista yang menemani anak-anak membuat PR, bermain sampai tiba saat mereka tidur. Barulah Arini dan Arista membagi diri, siapa menidurkan siapa, selalu bergantian setiap malam.
Tapi malam itu beda, mereka sudah dengan wajah ceria hendak pergi ke bandara. Menjemput ayah mereka yang baru selesei bertugas di Jakarta. Arini segera memberi komando "Ayo cepat makannya, pesawat mendarat jam setengah sembilan, kasihan ayah kalo menunggu lama-lama". Arista membantu Ayunda yang belepotan spagethi membersihkan diri. Lima belas menit selanjutnya mereka semua sudah berada di dalam mobil biru, sesak penuh. Butuh waktu 45 menit untk sampai ke Bandara. Tepat saat petugas mengumumkan bahwa pesawat berlabel burung biru itu telah mendarat. Ketiga prajurit sudah tidak sabar menunggu, sedangkan si kecil ayunda berlarian diantara pengunjung Bandara. 10 menit kemudian seorang laki-laki berjas rapi, dengan wajah sumringah meski terlihat lelah keluar disambut ketiga prajurit itu. Mereka berpelukan, dilihat banyak orang. Dua orang sepasang suami istri yang kebetulan kenal dengan Arini menyapa mereka. Sang suami berkata "Wah, senangnya jadi pak Fauzan, dijemputnya sama rombongan hehehe". "Eh, iya ini pak, biasa sudah kangen sama bapaknya, meskipun cuma 3 hari" Jawab Arini sambil memegangi tangan Ayunda yangg masih hendak lari kesana kemari. Arista sibuk membantu membawa tas dan jas Fauzan. "Kami duluan ya" kata Fauzan pada pasangan suami istri itu. Sepeninggal Fauzan, Arini, Arista dan anak-anak, si istri bertanya. "Ayah, ayah kenal mereka? itu yang istrinya yang mana?" Suami menjawab sambil tersenyum "Mereka berdua istri pak Fauzan. Bu Arini adalah istri pertama, bu Arista istri kedua. Hebatnya, mereka tinggal satu atap, dan seperti itu, rukun selalu, kemana-mana selalu rombongan. Bu Arista diperistri pak Fauzan atas permintaan bu Arini. Bu Arista adalah istri teman bu Arini yang telah meninggal dan meninggalkan 3 anak" Istrinya bingung. "Jadi, bu Arini sama pak Fauzan cuma punya satu anak? yang mana? ko kayak kelihatan sama begitu, kayak sodara kandung!" Suaminya menjelaskan "Anak bu Arini yang perempuan sudah besar itu, sedang kedua anak laki-laki dan satu anak perempuan kecil itu adalah anak bawaan dari bu Arista". Sang istri menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekaguman "Ayah kenapa?pingin kawin lagi?" Sang suami tertawa "Hahaha...memangnya kamu boleh?"
Di tempat parkir Arini hendak duduk di belakang kemudi, tapi fauzan berkata "Biar ayah saja, ibu capek kan seharian rapat?". Akhirnya jok depan diisi Fauzan, Farhan dan Firman. Jok belakang diisi Arini, Fatiya dan Arista. Ayunda duduk nyaman di pangkuan Arista sambil terlihat mengantuk kelelahan. "Bunda masak apa?" tanya Fauzan. Arista menjawab "Cuma spageti, ayah mau bunda masakin yang laen atau kita belis aja nanti di jalan?" Fauzan tersenyum sambil melihat spion, menatap keempat bidadarinya "Spageti ga papa, ayah juga sudah kenyang lihat kalian". Dan mobil itu meluncur memebelah jalanan kota yang penuh gemerlap lampu. Dari atas sana, mobil biru itu terlihat seperti dipenuhi sejuta lampu, lebih terang dari lampu manapun. dan cahaya itu ternyata berasal dari hati mereka yang saling mencintai.
Note : tulisan fiksi ini pernah dimuat di Kompasiana dengan judul sama pada 01 Agustus 2013
Link :http://www.kompasiana.com/www.aenipranowo.com/dua-istri-satu-rumah-dua-cinta_552fdbf46ea834b9548b45ac
Jalanan macet membuat mobil Honda Jazz biru metalic itu berjalan merayap pelan. Pak penjaga sekolah sudah menelpon, "Ibu mau jemput jam berapa ya?mereka ga nangis sih, tapi saya kasihan kayaknya mereka capek". Arini menjawab sambil tak enak hati "Sebentar ya pak, saya sedang di jalan, macet sekali ini". Pukul enam sore tepat Ariini sampe di gerbang sekolah. Si cantik Fatiya sudah manyun menyambut ibunya yang datang terlambat. Si gagah Farhan menenteng tas dan menggendong tas sepatu bolanya sambil tersenyum hambar. Si keren Firman berteriak "Ah..akhirnya datang juga, aku lapar ibu, capek, kenapa lama sekali?". Arini tersenyum "Maaf sayang...tadi rapatnya ga selesei-selesei, ga bisa ditinggal, tapi akhirnya ibu bolos juga demi kalian" Mereka bertiga masuk ke jok belakang, melempar sembarangan tas, meletakkan badan ndelosor kecapekan. Melihatnya Arini merasa bersalah. Ah, bahkan kewajiban antar jemput saja sering harus terkalahkan oleh kesibukannya sebagai sekretaris jurusan dan beberapa penelitian. Apalagi jika dia juga harus mengurus rumah, suami, pasti bakal keteteran semuanya. Arini menengok ke belakang "Mau mampir dulu kemana beli sesuatu ga?" "Gaaaa!!" jawab ketiga anak itu serempak sambil menutup mata. Handphone bergambar apel tidak utuh itu berbunyi, Arista menelponya lagi "Mbak, sudah kadi jemput?" Arini menjawab sambil tersenyum "Sudah, ini pada ngambek semua, bunda di rumah masak apa ya?" terdengar jeritan kecil di seberang sana "Bitin spadettiii!!". Arini menahan ketawa, si kecil mungil cerdas Ayunda ikut-ikutan bicara. "Tuh, bunda dah bikin spageti lho..ayo dong jangan ngambek gitu" Arini mencoba merayu ketiga prajurit kecil di belakang itu. "Ehh..pada ngambek? ga boleh sayang, kan Ibu tadi sibuk, maafkan bunda yang ga bisa jemput ya, bunda janji besok mau latihan nyetir mobil bisar bisa jemput kalian deh" Suara Arista dari speaker phone terdengar ikut merayu. Arini melajukan mobil biru itu secepat dia bisa, dan 30 menit akhirnya dia bisa sampai di rumah. Arista dan Ayunda sudah menunggu di pintu gerbang.
Arista, seperti biasa, mengenakan gamis berwarna kalem, dengan jilbab yang rapih dan senyum yang manis. Arini tersenyum, mereka berdua tersenyum. Dalam benak Arini, dia berpikir "Lihatlah wanita itu, sungguh anggun, sopan, manis dan menyenangkan ketika dilihat. Tidak seperti aku yang selalu kelelahan dengan pekerjaan" Di kepala Arista, dia pun berfikir "Ah, mbak Arini sungguh wanita luar biasa. Sibuk luar biasa, tapi selalu kelihatan cantik meski lelah di wajahnya jelas tergambar." Ketiga prajurit kelelahan itu segera masuk ke dalam rumah. Rumah itu memanjang, memiliki dua muka. Muka yang pertama menghadap ke kampung, muka yang satunya menghadap ke perumahan. Mobil biru itu di parkir lewat muka yang menghadap ke kampung. Setangah rumah ini bernuansa warna cream, dengan lima kamar, dua kamar utama dan tiga kamar anak-anak. Dapurnya berada di luar dengan setengah terbuka berbatasan dengan rumah kedua. Rumah ini yang selalu menjadi tempat mereka tidur, makan, belajar, nonton TV. Rumah kedua bernuansa lebih cerah, dengan ukuran yang lebih kecil hanya ada 3 kamar. Satu kamar utama dan 2 kamar lebih kecil. Jemuran ada di atas garasi kecil, ada Nissan Juke terparkir di dalamnya, serta satu sepeda motor matic. Halaman belakang yang menjadi pemisah antara rumah satu dan dua ditumbuhi aneka tanaman hias yang tampak terawat. Kedua rumah itu bersih dan nyaman. Di salah satu kamar rumah itu Arista menghabiskan malam bersama si kecil Ayunda. Sehabis maghrib, mereka berenam makan bersama di rumah pertama. Suasana seru seperti biasa, celotehan empat anak yang maunya semua bercerita duluan. Arini paling hanya bertahan 30 menit dengan keramaian itu, dia akan beralih ke ruang depan, membuka laptop, kembali ke pekerjaan. Bagian selanjutnya akan dituntaskan Arista. Arista yang menemani anak-anak membuat PR, bermain sampai tiba saat mereka tidur. Barulah Arini dan Arista membagi diri, siapa menidurkan siapa, selalu bergantian setiap malam.
Tapi malam itu beda, mereka sudah dengan wajah ceria hendak pergi ke bandara. Menjemput ayah mereka yang baru selesei bertugas di Jakarta. Arini segera memberi komando "Ayo cepat makannya, pesawat mendarat jam setengah sembilan, kasihan ayah kalo menunggu lama-lama". Arista membantu Ayunda yang belepotan spagethi membersihkan diri. Lima belas menit selanjutnya mereka semua sudah berada di dalam mobil biru, sesak penuh. Butuh waktu 45 menit untk sampai ke Bandara. Tepat saat petugas mengumumkan bahwa pesawat berlabel burung biru itu telah mendarat. Ketiga prajurit sudah tidak sabar menunggu, sedangkan si kecil ayunda berlarian diantara pengunjung Bandara. 10 menit kemudian seorang laki-laki berjas rapi, dengan wajah sumringah meski terlihat lelah keluar disambut ketiga prajurit itu. Mereka berpelukan, dilihat banyak orang. Dua orang sepasang suami istri yang kebetulan kenal dengan Arini menyapa mereka. Sang suami berkata "Wah, senangnya jadi pak Fauzan, dijemputnya sama rombongan hehehe". "Eh, iya ini pak, biasa sudah kangen sama bapaknya, meskipun cuma 3 hari" Jawab Arini sambil memegangi tangan Ayunda yangg masih hendak lari kesana kemari. Arista sibuk membantu membawa tas dan jas Fauzan. "Kami duluan ya" kata Fauzan pada pasangan suami istri itu. Sepeninggal Fauzan, Arini, Arista dan anak-anak, si istri bertanya. "Ayah, ayah kenal mereka? itu yang istrinya yang mana?" Suami menjawab sambil tersenyum "Mereka berdua istri pak Fauzan. Bu Arini adalah istri pertama, bu Arista istri kedua. Hebatnya, mereka tinggal satu atap, dan seperti itu, rukun selalu, kemana-mana selalu rombongan. Bu Arista diperistri pak Fauzan atas permintaan bu Arini. Bu Arista adalah istri teman bu Arini yang telah meninggal dan meninggalkan 3 anak" Istrinya bingung. "Jadi, bu Arini sama pak Fauzan cuma punya satu anak? yang mana? ko kayak kelihatan sama begitu, kayak sodara kandung!" Suaminya menjelaskan "Anak bu Arini yang perempuan sudah besar itu, sedang kedua anak laki-laki dan satu anak perempuan kecil itu adalah anak bawaan dari bu Arista". Sang istri menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekaguman "Ayah kenapa?pingin kawin lagi?" Sang suami tertawa "Hahaha...memangnya kamu boleh?"
Di tempat parkir Arini hendak duduk di belakang kemudi, tapi fauzan berkata "Biar ayah saja, ibu capek kan seharian rapat?". Akhirnya jok depan diisi Fauzan, Farhan dan Firman. Jok belakang diisi Arini, Fatiya dan Arista. Ayunda duduk nyaman di pangkuan Arista sambil terlihat mengantuk kelelahan. "Bunda masak apa?" tanya Fauzan. Arista menjawab "Cuma spageti, ayah mau bunda masakin yang laen atau kita belis aja nanti di jalan?" Fauzan tersenyum sambil melihat spion, menatap keempat bidadarinya "Spageti ga papa, ayah juga sudah kenyang lihat kalian". Dan mobil itu meluncur memebelah jalanan kota yang penuh gemerlap lampu. Dari atas sana, mobil biru itu terlihat seperti dipenuhi sejuta lampu, lebih terang dari lampu manapun. dan cahaya itu ternyata berasal dari hati mereka yang saling mencintai.
Note : tulisan fiksi ini pernah dimuat di Kompasiana dengan judul sama pada 01 Agustus 2013
Link :http://www.kompasiana.com/www.aenipranowo.com/dua-istri-satu-rumah-dua-cinta_552fdbf46ea834b9548b45ac
Comments
Post a Comment