Skip to main content

Risalah sepasang sepatu


Mari manfaatkan 17 menit waktu sisa sebelum pukul 10 pagi waktu Yamaguchi untuk menulis hal remeh temeh ini. Iyes...itu adalah sepatu bukan alat untuk melempar sesuatu seperti inu. Sepatu itu saya beli saat winter tahun 2014, sudah hampir dua tahun. Meski secara fisik sudah seperti itu, penyok sol bawahnya karena ciuman dengan knalpot motor waktu pulang ke Kudus setahun lalu, dan mbaret di beberapa tempat bagian atasnya karena kena tembok pas mau jatuh dari sepeda, tapi sepatu itu so far masih jadi sepatu favorit saya dari 5 pasang sepatu lainnya. Byuh...ternyata saya punya banyak sepatu.

Bagi wanita kebanyakan, yang banyak itu kayaknya termasuk saya, punya sepatu lebih dari 3 pasang itu hal biasa. Beda warna, beda mode, beda tinggi hak, beda tujuan pemakaian, beda pasangan pakaian. Niatnya pas beli sih begitu...dan mungkin beberapa memang mengimplementasikannya begitu. Tapi eh tapi...tidak buat saya

Waktu itu karena alasan dingin, saya memutuskan membeli sepatu Reebok warna biru. Yah, buat anget-anget kaki gitu. Tapi, sepatu itu nyaris cuma dipakai setiap hari selama sepekan. Habis itu saya pakai sepatu ini lagi. Iya itu, sepatu yang sudah mblenyok bawahnya.

Sebelum punya itu, saya sempat beli sepatu yang ga bisa di-silent mode, alias selalu bunyi cetok...cetok...cetook... Tujuannya waktu beli itu adalah, kalau ikut seminar biar kelihatan lebih profesional. Apa mau dikata, endingnya sepatu itu malah seringan dipinjem temen buat presentasi, e sayanya tetep aja pake sepatu trepes yang bisa di-silent mode. Yah, kalau kepaksaaaaa banget pake yang ber hak, saya pakai sepatu merah marun yang dulu beli second di Hardoff bareng Teh Lia. Yang mana sepatu itu sekarang lebih sering mangkrak di bawah meja Lab. Buat simpenan plus jaga-jaga kalau sewaktu-waktu kehujanan sepatu basah sudah ada serepnya. Oalah nasibmu Tu...

Padahal dulu saya ga suka banget sama sepatu trepes. Sukanya sepatu yang ada hak nya. Ngomong-ngomong dari tadi saya nulis sepatu hak, kalian sudah tahu kan maksudnya?
Saya dulu sukanya sepatu yang ya itu, ga bisa di-silent mode. Yah, untuk menunjukkan eksistensi saya gitu huahahahaha. Ealah, lha kok wolak walik ing zaman, sekarang kalau saya dengan ada yang pakai sepatu cetoook...cetook...cetoook... pingiiiin banget saya bilang "Ssst....brisik!!"

Sejujurnya sepatu trepes model begini, apalagi yang sudah mblenyok sol bawahnya, amat sangat tidak nyaman kalau dibuat jalan jauh atau jalan lama. Rasanya lama-lama kayak kita jalan nyeker ga pake sendal. Capek telapak kakinya, berasa jadi papan. Buat jalan itu ya enaknya pakai sepatu ket (nulisnya gimana sih?). Solnya lumayan tebal, telapak kaki dan punggung kaki serasa dipeluk erat, jadinya ga gampang capek. Tapi ya itu, ribet kalau mau lepas-lepasin. Akhirnya demi kalimat menjaga kepraktisan, sepatu trepes yang bagai kan terompah kayu itu tetap jadi pilihan.

Kenapa ga ganti (atau beli?) sepatu (lagi)?

Sepatu itu seperti pasangan. Kalau sudah suka, susah gantinya. Mau dia sudah mblenyok, jelek, pudar warna, keriput, mbaret, hampir jebot, tapi kalau cinta yang bisa membuat tai kucing berasa coklat itu sudah ada, ya susah, tetep aja ama dia kita bersetia. eaaaaa....
Jadi gitulah Mblo...kalau sampe sekarang kamu belum ketemu jodohmu, coba cari dulu sepatu favoritmu. Lha nyari sepatu favorit aja kamu belum bisa lho, kok mau nyari jodoh...

Well...akhirnya dua pekan lalu saya beli sepatu baru. Made in China. Lagi diskon pula. Bener-bener ga level sama sepatu mbelnyok yang made in Japan itu. Tapi ya gitu deh..laper mata aja, plus pas dicoba kok empuk enak gitu. Ya sudah saya beli sepasang.

Dan akhirnya...nasibnya kurang lebih sama dengan teman-temannya yang lain. Dia, cuam sepekan dipake rutin dan selanjutnya saya kembali ke sepatu mblenyok di atas lagi.

Jadi ingat nasehat Nasywa suatu pagi saat kami hendak ke dokter gigi.
"Dek, lihat ini sepatu ummi sudah begini, kamu ga kasihan saya ummi? kok ga nyuruh ummi beli sepatu baru?" dan dia pun menjawab dengan wais nya...

"Ummi masih suka sepatu itu? masih suka ga? kalau masih suka ya ga usah beli dipake aja dulu..."

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Aku yang mulai sakit

Aku mulai merasa sakit Sakit akibat rasa marah yang tak berkesudahan Atas kata-katamu yang tak tajam Tapi sanggup merobek-robek semua file kebaikan tentang dirimu Lalu, Aku berusaha menyusun serpihannya Dengan menggali dibalik neuron-neuron otakku Semua kebaikan tentang mu Aku sudah merasa sakit Jauh sebelum pekan itu Sejak sekian ratus hari lalu Dengan kecewa yang bagai cermin Sama namun terbalik gambarnya Meski sejak itu, Aku berjanji tak akan pernah lagi merasa sakit Jikapun kau lakukan hal yang sama padaku Karena sejujurnya aku tahu Pengorbananmu lebih besar dari cintaku Aku mulai merasa sakit Sakit atas rasa takut yang tak kepada siapaun bisa kubagi Aku menoleh padamu tapi tembok yang kubangun terlalu tinggi Aku tak menemukanmu dalam jangkauan tanganku Aku kehilangan kepercayaan atas ketulusanmu ( Yamaguchi, sekian puluh purnama yang lalu. Beberapa minggu menjelang ujian Doktoral. Entah puisi ini ditulis untu...

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Tiba Saatnya Kembali untuk Pulang

"All my bag are packed, I am ready to go,  I am standing here outside your door,  I hate to wake you up to say goodbye...." Siapa yang tak kenal lagu itu? Lagu kebangsaan para perantau setiap kali harus pergi dan pulang. Lagu yang menggambarkan betapa beratnya segala bentuk perpisahan itu, tak terkecuali berpisah untuk bertemu, dan berpisah untuk kembali ke tempat asal. PULANG. Sudah berapa lama ya ga nulis? Lamaaa sekali rasanya. Padahal banyak ide berseliweran. Apa mau dikata, kesibukan packing dan sederet hal-hal yang berkaitan dengan kepulangan ke tanah air, merampas semua waktu yang tersisa. Semua begitu terasa cepat dan hari berganti bagai kita membalik lembaran buku penuh tulisan membosankan. Akhirnya, senja benar-benar telah sampai di gerbang malam. Sudah saatnya mentari kembali ke peraduan. Bersama orang-orang kesayangan. Khusus untuk di Jepang, pulang selamanya (duh...) atau back for good (BFG) itu harus menyeleseikan terlebih dahulu banyak ha...