Skip to main content

Ketika derajat ikan salmon runtuh

Kemaren keluar dari kampus sudah jam 7 malam. Pas sepeda saya mau belok ke parkiran apato, pas mobil yang mengantar Nasywa pulang dari les piano juga membelok. Sedikit berbasa-basi kepada mereka yang telah selalu setia mengantar Nasywa pulang, lalu kami segera beranjak menaiki tangga apato mennuju ke lantai 2. Sepanjang menapakai anak tangga yang tidak genap 16 biji itu, Nasywa terlihat lemes, dan iya, dia bilang "Ummi aku lapar".

Baiklah...berhubung td siang dia sudah makan sayur mayur, maka malam ini saya goreng nuget ayam saja kesukaannya. Sebenernya dia pingin indomie goreng. Apalah daya, stock Indomie goreng sudah menipis, dan harus dicukupkan sampai kepulangan nanti.

Waktu menggoreng nuget itu sempet kepikiran "Aku makan apa ya malam ini?". Iyes...inget masih punya salmon di freezer. Salmon yang dibeli selasa kemarin yang cuma setengah harga karena memang selasa adalah hari sale untuk MaxValue.

Sambil nunggu nugetnya empuk, karena digoreng dalam keadaan beku, saya siapkan :

2 buah bawang merah oleh-oleh neneknya Kin Chan -- iris kasar
2 buah bawang putih -- iris kasar
2 buah cabe bangkok beku -- utuh

Begitu nuget matang langsung saya cemplungin 2 potong salmon dari total 4 potong yang saya beli. Dua itu udah lebih dari cukup lah untuk nambah nasi sampai 2 kali hehehe

Begitu salmon matang, segera saya masukkan irisan bawang dan cabe itu. Sambil berfikir, ini mau dikasi tarasi g ya sambelnya? Tomatnya digoreng ga ya?

Setelah sepersekian detik berfikir akhirnya diputuskan bikin sambel tanpa terasi dan tomatnya mentahan alias gapake digoreng. Kenapa? lagi males aja nyuci-nyuci bekas jelantah. Secara minyak begas goreng tomat itu kan item lengket gt.

Setelah bumbu yang digoreng kering, diserok, masukkan ke the one and only cobek kayu yang ada di rumah. Uleg-uleg kasih garem dikira-kira, lalu masukkan sepotong brown sugar sebagai pengganti gula jawa. Ulek halus lalu masukkan irisan tomat, lanjutkan uleg. Jadi!!


Foto itu saya posting di Fb dan ternyata mendapat aneka komentar yang kemudian menyadarkan saya bahwa saya sudah melakukan pengrusakan citra dan image ikan salmon yang nota bene adalah ikan mahal. Dia, ikan salmon itu, yang katanya seiris kecil di Indonesia dibandrol harga 70rb rupiah dan hanya dibeli karena kepingin anaknya makan ikan dengan omega3 yang tinggi, saya jadikan pengganti lele untuk dipenyet bersama sambel dan akhirnya bernama pecel salmon. Adduh...

Tapi, di lain pihak, nama menu makanan "pecel" yang biasanya dipasangkan dengan lele, tempe, tahu, dan ayam, lumayan terangkat setelah dia dijodohkan dengan salmon. Makanan yang di Indonesia bisa ditemui di seluruh penjuru negeri, di sepanjang jalan kenangan baik yang terang maupun remang-remang itu, naik tingkat dan terlihat lebih elite ketika bergandengan dengan ikan yang berimage mahal, salmon.

Jadi begitulah. Dunia pun juga tak banyak beda dengan kisah si pecel lele dan si pecel salmon itu. Tergantung siapa main sama siapa. Kan memang siapa yang main sama tukang oli akan kecipratan baunya, dan yang main dengan tukang minyak wangi akan kena harumnya? 

Nah, kalau kamu? pilih pecel lele apa pecel salmon?  hehehe... 



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...