(Foto gunung Fuji, Fuji San, dari atas pesawat ANA, Tokyo-Jakarta. Diambil oleh Pak Guru)
"Mbak...rasane numpak montor mabur ki kepiye e?" (Mbak, gimana sih rasanya naik pesawat?)
Pertanyaan itu aku utarakan di ruang TV kosan Wismo Ayu di suatu ketika, kepada mb Heppy yang sudah beberapa kali pulang ke Klaten naik pesawat. Pesawat, seperti halnya komputer, saat itu menjadi benda yang tak terjangkau. Kesemuanya masih ada diantara deretan mimpi dan angan-angan semata. Lah mau pergi kemana juga saya sampai harus naik pesawat. Bogor-Muntilan bisa ditempuh lewat jalur darat. Naik Bis dari Tajur lebih nyaman, atau bisa juga naik kereta dari Stasiun di Jakarta sampai Stasiun Tugu di Jogja kalau lagi ga ada kerjaan.
Pulang ke Jogja, sekolah dan bekerja di sana pun tak memberikan ruang dan kesempatan kepada saya untuk naik pesawat. Ga ada rencana mau kemana-mana juga. Pulang ke Selo cukup pakai motor, cepat, murah dan nyaman dijamin ga bakal mabok darat. Pergi kemana-kemana yang berkaitan dengan sekolah dan pekerjaan juga sudah keren naik mobil dinas Fakultas. Tinggal duduk ngantuk sudah sampai tempat tujuan, yang ini tentu ditemani sedikit mabuk darat.
Ketika memutuskan menikah, ndilalah juga jodohnya asli Kudus. Yang kalaupun dipaksa naik pesawat dari Jogja-Semarang, ntar dari semarang ke Kudusnya masih harus lewatin macet lagi di Demak. Kalau naik pesawat balik sudah sampai Jogja lagi trus makan sego gudeg baru bisa sampai Kudus. Ga ada cara lain, ke Kudus harus lewat jalan darat.
Lalu takdir mulai bekerja sesuai kehendak Nya.
Cita-cita ingin sekolah di Jepang sebenarnya bermula dari kesukaan saya akan film kartun, baik itu Doraemon, Chibi maruko, Ranma 1/2, Ruroni Kenshin dan Inuyasha. Racun yang lain tentu saja komik-komik Jepang tapi yang jelas bukan dorama (drama Jepang). Cita-cita itu menguat setelah diajar oleh banyak dosen yang lulusan Jepang baik ketika S1 maupun S2. Ndilalah pembimbing S2 nya juga lulusan Jepang. Cerita-cerita tentang kehidupan di Jepang itu secara tidak langsung membuat saya sedemikian mengidolakan Jepang, sebagai sebuah negeri impian. Tidak peduli teman yang lain memilih Amerika atau Eropa atau Australia sebagai negeri impiannya, saya akan penuh percaya diri bilang saya ingin ke Jepang.
Dan penerbangan pertama saya ternyata adalah penerbangan Jogja-Jakarta, di suatu pagi di tanggal 24 September 2012 dengan pesawat Garuda Indonesia. Berhubung itu akan jadi pengalaman pertama, maka suami memutuskan untuk menemani. Takut saya bingung pas mau cek in dan proses pemeriksaan keamanan lainnya :) :)
Lancar dengan proses cek in, sambil tentu saja diberi tahu suami, nanti harus begini dan begitu, kami pun duduk di ruang tunggu sambil sesekali berkabar dengan family yang masih ada di luar. Perasaan waktu itu lebih dominan rasa sedih karena mau pergi jauh, sendiri, dan lama, meninggalkan anak, suami dan semua kenyamanan di dalam keluarga. Rasa penasaran akan bagaimanakah rasanya naik pesawat dan sebagainya sudah tidak ada lagi.
Yang paling saya ingat dari penerbangan pertama itu adalah, hati yang berdesir saat pesawat mulai take off. Lalu bagaimana saya dibuat terkagum dengan awan yang bergulung-gulung terlihat hanya diam saja, tak bergerak dilindas badan pesawat. Sesekali saya menengok ke belakang, ke kursi dimana suami saya duduk. Kami memang duduknya tidak bersama karena tiket saya dibelikan agen sedangkan tiket suami beli sendiri.
Perjalanan 45 menit yang mengubah segalanya. Karena setelah itu, pesawat Jakarta-Thailand (Thai Airways) yang saya naikin memberikan sensasi yang lebih luar biasa. Saya dipilihkan tempat duduk depan dengan ruang kaki yang lebih luas. Dipesankan makanan enak yang menemani sepanjang perjalanan. Tiga kursi itu hanya diisi saya dibagian jendela dan seorang bule yang duduk di bagian pinggir. Udiknya saya, karena banyaknya makanan yang diberikan pramugari sedangkan bule sebelah saya ga makan apa-apa, saya tawarkanlah ke dia hahaha. Hellow...ketahuan banget ini naik pesawat pertama kali.
Dan sepanjang perjalanan itu, hati saya berkecamuk. Kembali mempertanyakan kenapa saya harus pergi sejauh ini? Kalau begini kan ga bisa melarikan diri lagi. Ga kayak waktu kuliah di Bogor saya sering pulang kamis sore ke Muntilan, balik Bogor minggu sore. Itu hampir setiap minggu selama 3 bulan pertama yang penuh derita hahaha. Anak Mae yang merasa dibuang jauh ga bisa krasan apalagi dengan kondisi Bogor yang panas dan lembab.
Sampai sekarang, setelah sekian puluh penerbangan yang saya lalui, saya masih selalu ingat kenangan penerbangan pertama itu. Perasaan tak menentu dan curiosity yang bercampur jadi satu, membuat perut mual karena mabuk udara tak sempat datang. Sekarang, kalau naik pesawat saya masih harus minum antimo anak atau perjalanan daya akan dipenuhi drama mabuk udara hahaha.
Kalau kamu, gimana cerita penerbangan pertamamu??
Comments
Post a Comment