Skip to main content

Lain Jogja, lain Yamaguchi

(Kota Yoshida dari atas bukit belakang kampus, lihaaat..ada ARUK di sana)

Kalau tulisan tentang 100 kebiasaan yang akan melekat setelah tinggal sebulan di Jepang dan akan selalu dikenang, itu sudah biasa. Bolehlah sedikit disebutin seperti suka menyimpan sampah di dalam tas, tiba-tiba saat bilang 'terimakasih' gitu sambil membungkuk 15 derajat, dan pas ketemu WC duduk secara otomatis mencari tombol cawik. Dan tentu saja masih banyak yang lainnya.

Di tulisan ini, ada beberapa hal yang, menurut pengalam saya tentu saja, menjadi sesuatu yang biasa aja kalau di sini, padahal kalau di Joga saya malu kalau mau melakukannya. Saya sebut Yamaguchi, bukan Jepang secara general karena takutnya di belahan bumi Jepang yang lain, hal-hal ini tetep saru dan tabu dilakukan di depan orang (banyak). Apakah itu....

Me-nylurup mie sampe bunyi

Hal ini berlaku untuk semua jenis mie, mulai dari mie ayam, mie bakso, udon, soba, mie gelas, mie goreng Indomie, ramen, dan apapun yang ada unsur mie-nya. Memakan mie-mie-an tersebut dengan suara 'slurup rup lep rup' akan menambah kenikmatannya. Kalau di sini, suara seperti itu juga dianggap sebagai sebuah ungkapan terimakasih dan penghargaan bagi sang pembuat makanan. Menunjukkan kita sangat menikmati makanan yang sudah dibuat. Mau sekenceng apapun bunyinya ga ada yang akan nengokin sambil micingin mata, karena sudah biasa. Coba hal ini dilakukan di warung bakso di Jogja dimana warungnya penuh orang, maka akan ada beberapa pasang mata yang melirik sambil mbatin 'Ya ampuun...koyoke kok ra tau maem mie to cah kui'. Kenapa begitu? ya karena di tanah Jogja, makan itu ya sambil diem. Menikmati itu ya diem, bukan kayak Mark Migrationology yang sambil miring-miring sambil bilang 'Waow...waowww".

Sisi di mana saja kapan saja 

Nah yang ini, kalau yang baru dateng gitu, pasti jijik dengernya. Secara di sini orang sisi (mengeluarkan ingus) bisa di mana saja kapan saja, bahkan ketika di dalam restoran habis makan kepanasan kepedasan. Yah, lumayan sih bunyinya bisa bikin agak mual hehehe. Paling sering suara sisi akan terdengar ketika musim pilek. Apalagi di student room, biasanya kalau satu kena pilek, yang lain menyusul dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jadilah perlombaan sisi 'srat srot sret srot' sepanjang hari. Kalau saya, kalau di dalam ruangan ga ada orang baru, saya berani juga ikut lomba sisi hahaha. Tapi kalau ada mahasiswa exchange, saya agak kasih toleransi. Taulah gimana rasanya pertama kali dengar suara khas hidung tenggorokan itu. Yang ini, sejak di Jogja sih saya sudah suka sisi di mana aja hehehe. Lha gimana daripada hidung mampet. Cuma suaranya agak ditahan jadi meskipun sisi sembarangan tapi tetep terdengar merdu gitu...

Sikat gigi sambil ngobrol

Ok...orang sini sejak TK sudah diajarin sikat gigi setelah makan siang. Maka, jangan kaget kalau setelah jam makan siang di toilet akan berjejer mbak mbak (kalau toilet cewek ya) yang sikatan plus benerin gincu. Kalau di dalam student room ada wastafelnya, maka ritual sikat gigi dilaksanakan di dalam ruangan disambi buka berita apa baca paper. Yang lebih ekstrim, disambi ngobrol. Bayangkan bapak ibu. ((Disambi ngobrol)). Meskipun begitu, ga ada tu yang sampe muncrat kemana-mana, mereka itu kalau sikat gigi rapii ga pating dlewer kayak kita. Malahan, temen satu ruang saya kalau sikat gigi tanpa suara. Silent mode on pokoknya. Entahlah, apakah dia pasang peredam di dalam mulutnya atau bagaimana. Trus sikat giginya lamaaa, lebih kali semenit. Meskipun ini kebiasaan baik, tapi kalau belum mahir tolong jangan dicoba sikat gigi sambil ngobrol ya, apalagi sikat gigi sambil bersiul hehehe.

Irit suara

Sebenarnya bukan irit suara sih ya, tapi lebih ke melaksanakan sabda Nabi Muhammad, "Berbicaralah yang baik atau diam". Meskipun satu ruangan, tapi palingan kami bicara dua kali sehari saja, pagi dan petang, saat datang dan saat mau pulang, bilang selamat pagi dan sampai jumpa, selebihnya diem-dieman. Dan itu sudah jadi sesuatu yang common banget, bukan karena kami lagi diem-dieman, tapi emang kalau ga ada yang penting ya ngapain ngobrol, nanti jatuhnya malah ghibah *uhuk. Kadang, saya sampe ga bisa ngomong samapi rumah saking seharian pita suaranya ga dipake. Ibarat penyanyi yang tanpa latihan, pita suaranya jadi kaku. Hal ini menjadi penyebab ketakutan saya sebelum ujian kemarin, takutnya suara habis di tengah-tengah presentasi karena saking seringnya irit suara selama bertahun-tahun. Maka dari itu, sebulan penuh sebelum ujian, setiap pagi saya melemaskan otot-otot pita suara dengan olahraga ringan. Apakah itu... menyanyi. Coba kalau di Jogja, ketemu temen dikit aja ngobrolnya 30 menit. Apalagi di ruangan, seru-seruannya setengah hari, kerjanya beberapa jam saja. Tapi yang begitu itu ngangenin tau. Di sini perasaan  kerja sama robot aja ga ada asyik-asyiknya.


Nah, udah...Apalagi ya...tadi pas nulis ada keluar ide tapi pas sampai poin terkahir kok ilang idenya. Monggo yang mau kasih tambahan kebiasaan-kebiasaan yang jangan dilakukan sembarangan bisa tulis di kolom komentar. Sekedar info saja, pengunjung blog ini sudah hampir 10.000. Tapi komentar yang masuk belum genap 20 buah. Kebanyakan kasih komentar di status Fb soalnya.

Ok deh...sudah saatnya tutup laptop dan pulang. Btw ini hari pertama masuk setelah libur dari hari Jumat pekan lalu. Tau kan gimana rasanya galau setelah libur panjang. Maunya masih mau libur tapi udah ditunggu kerjaan.

Comments

Popular posts from this blog

Aku yang mulai sakit

Aku mulai merasa sakit Sakit akibat rasa marah yang tak berkesudahan Atas kata-katamu yang tak tajam Tapi sanggup merobek-robek semua file kebaikan tentang dirimu Lalu, Aku berusaha menyusun serpihannya Dengan menggali dibalik neuron-neuron otakku Semua kebaikan tentang mu Aku sudah merasa sakit Jauh sebelum pekan itu Sejak sekian ratus hari lalu Dengan kecewa yang bagai cermin Sama namun terbalik gambarnya Meski sejak itu, Aku berjanji tak akan pernah lagi merasa sakit Jikapun kau lakukan hal yang sama padaku Karena sejujurnya aku tahu Pengorbananmu lebih besar dari cintaku Aku mulai merasa sakit Sakit atas rasa takut yang tak kepada siapaun bisa kubagi Aku menoleh padamu tapi tembok yang kubangun terlalu tinggi Aku tak menemukanmu dalam jangkauan tanganku Aku kehilangan kepercayaan atas ketulusanmu ( Yamaguchi, sekian puluh purnama yang lalu. Beberapa minggu menjelang ujian Doktoral. Entah puisi ini ditulis untu...

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya ๐Ÿ‘‰     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? ๐Ÿ˜… 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah ๐Ÿ˜‚) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Tiba Saatnya Kembali untuk Pulang

"All my bag are packed, I am ready to go,  I am standing here outside your door,  I hate to wake you up to say goodbye...." Siapa yang tak kenal lagu itu? Lagu kebangsaan para perantau setiap kali harus pergi dan pulang. Lagu yang menggambarkan betapa beratnya segala bentuk perpisahan itu, tak terkecuali berpisah untuk bertemu, dan berpisah untuk kembali ke tempat asal. PULANG. Sudah berapa lama ya ga nulis? Lamaaa sekali rasanya. Padahal banyak ide berseliweran. Apa mau dikata, kesibukan packing dan sederet hal-hal yang berkaitan dengan kepulangan ke tanah air, merampas semua waktu yang tersisa. Semua begitu terasa cepat dan hari berganti bagai kita membalik lembaran buku penuh tulisan membosankan. Akhirnya, senja benar-benar telah sampai di gerbang malam. Sudah saatnya mentari kembali ke peraduan. Bersama orang-orang kesayangan. Khusus untuk di Jepang, pulang selamanya (duh...) atau back for good (BFG) itu harus menyeleseikan terlebih dahulu banyak ha...