Skip to main content

Rabu Jalan -- IWAKUNI, Kota sejarah dari Periode Edo hingga Restorasi Meiji

Pekan lalu Rabu Jalan lagi ga bisa jalan-jalan. Ga ada sebab lain selain bahwa pekan lalu saya harus bermesraan dengan tetek bengek per-tesis-an yang tidak mau diduakan dengan apapun. Alhamdulillah, submission-nya sudah berjalan lancar. Meskipun, seperti halnya jodoh yang kalau belum "Sah" masih bisa berubah, ini juga kalau belum bruk bruk masih ada yang labil. Mau ditambah ini, mau ditambah itu, dikurangi ini, diganti itu... Dan dia adalah pak Guru.

Oke...

Rabu jalan kali ini hendak mengulang cerita perjalanan kami ke Iwakuni beberapa bulan yang lalu. Selain Tsuwano, Iwakuni adalah kota yang paling pingin saya kunjungi. Tentu saja jembatan Kintai (Kintai-kyo) yang jadi alasannya. Ya..dalam satu episode, Kenshin dan Kaori rasanya pernah berjalan berdua di jembatan ini. Atau bahkan Kenshin pernah juga bertarung di atas jembatan ini. Yang pasti, jembatan ini adalah satu-satunya alasan kenapa saya begitu ingin pergi ke sana.


Kintai-kyo yang membelah sungai Nishiki ini panjangnya sekitar 175 m dengan lebar 5 m. Kintai-kyo sendiri dibangun pada tahun 1673 setelah banjir besar melanda daerah itu. Namun, setahun setelah jembatan berdiri, banjir bandang kembali datang dan menggeser pondasi jembatan hingga akhirnya direnovasi lagi. Kintai-kyou yang sekarang berdiri anggun itu tentu sudah mengalami banyak kali renovasi. Tahun 2001-2004 adalah periode terakhir dilakukan perbaikan balok-balok kayu yang menjadi bagian utama jembatan. Yang unik dari jembatan ini adalah, tak satupun digunakan paku dari logam untuk menyatukan bagian-bagiannya. Semuanya berasal dari kayu dan sudah bertahan hampir 300 tahun lamanya.

Sebenarnya perjalanan kala itu tidak semata-mata hendak ke Kintai-kyo. Hari itu saya ikut kegiatan Kazeno-kai yang bekerjasama dengan bagian Disaster Prevention di Iwakuni untuk melakukan work shop kebencanaan. Acara workshopnya sendiri berlangsung dari pagi hingga sekitar pukul 2 siang. Nah setelah itu sambil jalan pulang kami diajak mampir ke Kintai-kyo dan diberi waktu satu jam untuk menikmati nuansa romantis, syahdu dan damai dari jembatan dan sungai ini.


Setelah melewati jembatan sambil tidak lupa foto-foto, di ujung jembatan sudah menunggu warung es krim yang terkenal di seantero Jepang. Namanya MUSASHI. Toko es krim ini terkenal karena dia memiliki 100 varian rasa. Mau rasa apa ada. Dari yang standard seperti vanila, coklat, matcha, sampai yang ekstrim kayak rasa garlic dan onion pun ada. Yang ga ada cuma rasa yang dulu pernah ada diantara kita *eaaaaa
Sebenarnya di sekitar toko es krim ini ada banyak toko eskrim lain. Tapi yang namanya nama besar itu susah untuk dikalahkan. Tubuh besar masih bisa dikalahkan. Tapi saingan berat nama besar adalah jiwa besar. Demikian kata pak Jokowi ((JOKOWER nich yeee)


Harga es krim bervariasi ya. Dari 200 yen sampai 500 yen. Di toko lain juga harganya segitu-gitu juga. Tapi memang Musashi ini yang paling ramai dan paling panjang antriannya. Ada juga warung gorengan. Ada gorengan kentang sama tempura-tempuraan gitu deh. Cukuplah untuk mengganjal perut yang mungkin sudah gelar konser karena memang sudah waktunya makan sore ((MAKAN SORE)).


Berhubung kita dilarang membawa makanan dan minuman saat melintasi jembatan, maka mau tak mau semua makanan dan minuman yang kita beli di sini harus diseleseikan secara baik-baik di tempat itu juga. Tapi jangan khawatir, ada banyak tempat duduk kok di taman deket situ. Ada juga tempat duduk di tebing sungai yang ashoi buat berduaan atau bermepatan. Kalau mau sedikit ekstrim coba makan es krim sambil duduk di atas rumput di tebing sungai...ada rasa manis-manisnya gitu deh...kayak dia yang berjilbab biru ini *hahaha


Sambil memandang air sungai yang jernih meskipun tanpa ikan koi ya, ingat ini Iwakuni bukan Tsuwano, sambil menjilati es krim yang sudah tak sabar ingin segera lumer itu. Nah, setelah itu, bolehlah main-main air di sungai sambil foto-foto lagi. Itu anak jilbab biru juga main-main air sampai di bawah jembatan. Ga bisa lama-lama sih, karena takut keburu ditinggal bis juga.



Ingatan saya tentang Kintakyo tak bisa hilang bahkan sampai hari ini. Saya merasa menemukan kedamaian di sungai itu. Saya merasakan keharmonisan saat melintasi jembatan kayu itu. Tempat ini memang punya daya magis yang luar biasa menurut saya. Ada keinginan kuat untuk kembali lagi ke sana suatu saat nanti. Dan semoga masih bisa digratisi *ngarep

Jadi, kalau kamu ada rencana jalan-jalan ke Jepang bagian barat, jangan lupa kunjungi tempat ini.

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...