Skip to main content

Memilih mati bunuh diri atau malu melarikan diri



Sebagian dari kita, atau mungkin banyak juga, yang pernah pada posisi sulit. Harus memilih diantara dua kemungkinan yang sama-sama ga enaknya. Seperti buah simalakama, demikian kata pujangga. Maju kena mundur kena kata Dono, Kasino, Indro. Situasi yang tidak memberikan pilihan lain yang lebih baik. Cuma ada dua, maju atau mundur, ke kanan atau ke kiri, pergi atau tinggal, ambil atau lempar, kabel biru atau merah. Semakin lama berfikir untuk menentukan pilihan, waktu berjalan tak bisa dihentikan hingga bisa-bisa bom nya meledak, menghancurkan tak hanya kita, tapi orang-orang disekitar kita. Dalam posisi ini, salah memilih pun juga salah. Tapi setidaknya sudah berusaha memilih, bukan diam saja termangu menunggu kehancuran tanpa berusaha menghindar atau meredamkan. Ini lebih salah.

Kira-kira begitulah yang saya bayangkan ketika mendengar kabar, ada mahasiswi S3 di Lab tetangga yang memutuskan mengundurkan diri di tahun ke-2. Padahal, menurut teman Lab nya dan orang-orang luar Lab yang melihat dia bekerja, performanya bagus, rajin, tekun, dan cukup tangguh menghadapi Pak Gurunya yang cukup labil dan mudah meledak-ledak pun mudah sekali menjadi baik. Seorang juniornya bahkan bilang kalau dia bekerja dari pagi sampai larut malam tanpe mengeluh. Dia pun baik dan sangat kooperatif dengan anggota Lab yang lain. Suka membantu dan sangat bersahabat. Tapi apa mau dikata, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya (sakit dan sesaknya) hati siapa yang boleh tahu.

Saya jadi ingat perbincangan di sebuah group beberapa tahun lalu. Kami, ibu-ibu yang lagi sekolah, sedang mengomentari salah satu curhatan anggota group yang punya pikiran untuk mengundurkan diri juga. Dari banyak obrolan itu, ada beberapa poin penting yang saya ingat betul, terutama untuk kasus sekolah di Jepang. Kenapa di Jepang? Karena mungkin kultur dan sistem pendidikan di negara lain berbeda dengan di sini. Tapi bolehlah jika dirasa bermanfaat dan bisa dipakai di luar Jepang.

Yang utama harus disadari adalah, bahwa sekolah, supervisor, dan tema penelitian itu seperti jodoh. Ketiganya akan lebih baik jika berjodoh, klop dan klik. Tapi, jika pun salah satu diantaranya tidak berjodoh maka ada beberapa opsi yang bisa diambil.

Jika sekolahnya cocok, supervisornya baik, tapi tema penelitiannya ternyata melenceng jauh dari basic ilmu kita, maka berusahalah. Banyak ilmu baru, yang meskipun kita tak punya basic apa-apa tentang hal itu, tapi dengan ketekunan, keuletan dan kesabar, plus supervisor yang baik, pengertian, InsyaAllah akan lebih mudah dijalani dan dipelajari.

Jika supervisor cocok, baik, sabar, ditambah tema penelitiannya OK, namun sekolahnya atau kota tempat tinggalnya tidak mendukung, maka ini hampir sama dengan kondisi pertama, masih bisa dipertahankan. Dimana sih tempat yang 100% membuat kita nyaman selain rumah sendiri. Di rumah sendiri pun kadang ada kecoa, tikus, atau nyamuk yang mengganggu. Tapi ketidak cocokan tempat sekolah (University atau daerah tempat tinggal) bisa disiasati. Jika tempat tinggalnya maka bisa pindah ke kota sebelah yang dekat.

Jika sekolah dan lingkungan tempat tinggal mendukung, tema penelitian linier dan kita suka, tetapi supervisornya tidak click, maka kondisi seperti ini memungkinkan kita untuk berfikir ulang. Di Jepang, supervisor itu sudah seperti penguasa. Di tangan beliaulah masa depan sekolah kita berada. Ini bukan menuhankan supervisor, tetapi kondisi di lapangan memang begitu. Jika kondisi hubungan antara mahasiswa dan supervisornya sudah tidak baik, atau supervisor terlalu kejam (dalam arti banyak hal) maka berfikir ulang pindah sekolah, pindah supervisor adalah saran yang bisa dipertimbangkan. Kecuali Anda termasuk orang yang cuek dan tidak mudah sensi, maka bertahan juga opsi yang bisa dipertimbangkan. Tapi jika Anda termasuk orang yang mudah mellow, sangat perasa dan seringnya memikirkan hal-hal itu sampai berlarut-larut, daripada sakit hati kecewa berkepanjangan maka masih banyak di luar sana tempat lain yang InsyaAllah lebih baik.

Ketiga kondisi itu adalah kondisi di luar diri kita. Ada satu lagi kondisi internal mahasiswa yang menjalani yang juga harus menjadi salah satu pertimbangan saat memilih sekolah dan terutama tema penelitian. Apakah dia tipe perfectionist atau tidak. Seseorang yang selalu ingin sempurna akan memiliki satu lagi tantangan berat, yaitu menghadapi dirinya sendiri. Menata hati jikalau ternyata situasi di luar dirinya tidak membuat dia bisa merasa cukup sempurna bekerja. Dan ini tantangan yang paling berat.

Kembali ke cerita mahasiswi Lab sebelah yang mengundurkan diri itu. Saya membayangkan dia selama ini bertarung lahir batin berusaha bertahan. Ini tahun kedua, bukan semester kedua. Tahun kedua bagi mahasiswa S3 itu sudah separo jalan lebih. Agak telat jika mengundurkan diri. Sayang, begitu kira-kira pikirann orang lain. Tinggal setahun lagi, mbok o bertahan dan bersabar. Itu mungkin yang akan saya katakan jika dia meminta pendapat saya. Tapi setelah saya renungkan, mungkin sebenarnya dia sudah merasa ada yang membuat dia tidak nyaman sejak di tahun pertama. Tapi dia berusaha bertahan hingga detik ini dengan sekuat yang dia bisa, toh performa kerjanya tak pernah menurun. Tapi, lubuk hatinya yang paling dalam berkata, dia harus memilih, antara mati bunuh diri di lab itu atau malu karena melarikan diri.

Dan pada akhirnya dia memilih untuk menyerah secara ksatria. Mengakui bahwa dia sudah tidak bisa meneruskan episode ini. Bendera putih sudah dikibarkan. Dia tak ingin berlama-lama menghancurkan dirinya sendiri di sebuah situasi yang tidak membuat dia nyaman.

Angkat topi tinggi-tinggi untuk dia yang sudah berani ambil keputusan ekstrim itu. Saya salut dengan keberaniannya. Mungkin sejak kemarin tidurnya sudah mulai nyenyak. Senyumnya sudah mulai tulus. Dia sudah bisa menjadi dirinya sendiri, bukan dia yang dituntut untuk begina begini.

Selamat jalan teman....
Di episode ini semua punya kisahnya masing-masing. Semua punya perannya masing-masing. Dan memang beginilah peranmu, dan sampai di sini kisahmu. Ku doakan kau segera temukan "jodoh" mu yang selama ini kau cari. Tempat dan orang-orang yang bisa membuatmu menjadi dirimu. Tempat yang membuat tidur malammu nyenyak tanpa mimpi. Tempat yang membahagiakan mu.




Comments

Popular posts from this blog

Kafunsho, alergi pollen yang datang setiap tahun

Sudah sejak pertengahan Maret tahun ini saya merasakan siksaan setiap pagi yang bersumber dari hidung. Siksaanya berupa hidung meler dan gatel. Melernya itu bening dan banyaaaaak. Banyak banget lah pokoknya sehingga setiap pagi saya harus membawa serta tisyu kemana-mana bahkan ketika harus nongkrong di toilet. Saya kira saya kena flu, makannya saya minum sanaflu. Demikian kata mab Desy Ratnasari ya hehehe. Cuma yang aneh kok kalau saya flu tapi kenapa badan rasanya biasa aja. Ga kayak orang sakit flu gitu. Ok, sanaflu ga mempan maka saya beralih kepada vitamin C. Hampir setiap hari minum UC 1000. Saya agak khawatir juga sama ginjal karena 1000 mg itu guedeee banget lho. Ditambah saya ga begitu suka minum air bening yang fungsinya buat netralisir. Pak guru sempet bilang " Kamu kafun kali... kan sudah tahun ke-5 ini " Tapi saya tetep ga percaya. Masak iya sih kafun pas di tahun terakhir. Perasaan dari tahun tahun sebelumnya ga kayak gini deh masak tahun ini baru mulai.

Buat kamu yang masih ragu menulis di mojok. Iya kamu!

Beberapa pecan yang lalu tulisan ku lolos meja redaksi mojok.co (link nya http://mojok.co/2016/03/surat-untuk-bu-ani-yudhoyono/ ). Web favorit anak muda yang agak nyleneh tapi asyik ini memang menantang sekali. Para penulisnya kebanyakan anak muda-muda yang berdaya nalar mletik. Pinter tapi unik. Yang sudah berumur ada juga sih, kayak si Sopir truk Australia, atau kepala suku Mojok, Puthut EA dan juga wartawan senior Rusdi Mathari. Mereka itu guru maya menulis yang baik. Tulisan mereka, kecuali si supir truk, mengalir dengan indah. Sederhana tapi penuh makna. Alurnya jelas. Kalimatnya mantap tidak pernah bias. Aku selalu dibuat kagum dengan tulisan-tulisan mereka, bahkan yang hanya status Fb. Yang selalu menjadi icon dan lumayan bullyable di mojok itu adalah Agus Mulyadi. Anak muda yang terkenal karena kemrongosan giginya ini selain jadi photosop juga jago nulis. Tulisan-tulisannya di Blog pribadinya khas sekali. Dengan umpatan-umpatan khas magelangan. Plus cerita-cerita lugu yang

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 1]

Ga nyampe dua bulan udah mau kelar tahun 2023 ini. Doa-doa di akhir tahun lalu dikabulkan dengan bonus-bonus yang luar biasa. Minta tahun 2023 diisi dengan banyak jalan-jalan, eh beneran dikasi banyak perjalanan baik dalam provinsi beda kabupaten sampe ke luar negeri. Kadang sehari bisa dari pagi mruput ke timur selatan naik-naik ke Gunung Kidul, agak siang turun ke utara kembali ke Sleman, lalu sorenya udah harus ke barat meskipun tujuannya bukan mencari kitab suci. Ada banyak banget PR menulis yang belum sempat dikerjakan. Baik menulis paper maupun menulis catatan perjalanan. Biar ikut les menulisnya itu adalah sibgha hnya ya 👀. Oke lah kita mulai mengerjakan PRnya satu-satu. Tadi pas nongkrong sempet kepikiran mo berbagi kesan saat jalan-jalan ke berbagai negara tahun ini. Kesan ini tentu sifatnya sangat subjektif ya. Masing-masing orang bisa menangkap kesan yang berbeda. Ini menurutku saja, mungkin kamu berbeda, ga papa ga usah diperdebatkan.  1. Bangkok, Thailand     Sampai Bangk