Skip to main content

Belajar Membaca sambil WhatsApp-an


Resolusi tahun 2017 ini salah satunya adalah menyiapkan Nasywa pulang ke Indonesia dan sekolah di sana. Salah satu dari sekian banyak persiapan itu adalah, mengajari dia membaca dan menulis huruf abjad dengan aksen Indonesia. Bukan aksen Jepang atau Inggris. R ya harus ribaca ER bukan AR. K harus dibaca KA buka KE. Dan seterusnya.

Untungnya Nasywa sudah kenal huruf abjad sejak umur 3 tahun. Memang dari dulu ga diajari membaca juga, cuma dikenalkan huruf saja. ABCD dan seterusnya. Cuma setelah pindah ke sini, huruf-huruf itu jarang dipakai. Waktu dia mulai membaca dan menulis, kira-kira umur 6 tahun, dia cuma fokus belajar membaca dan menulis katakana, hiragana. Kalau diajak belajar baca abjad bilang "Aku kan ga pake itu Ummi..."

Saya sengaja tidak memaksa juga sih. Melihat beban belajar dia setiap hari yang sudah lumayan. Ditambah harus belajar menulis (menghafal juga ini) huruf kanji, kayaknya kok saya jahat sekali memaksakan dia harus juga belajar membaca bahasa Indonesia. Sesekali kemampuan dia membaca huruf abjad itu dipakai saat english class. Nah ini yang membuyarkan semua. Dan saya ngehnya itu pas dia cek kesehatan mata di dokter mata waktu dia kelas 1 SD. Saya begitu mlongo ketika dia membaca huruf abjad itu dengan English style... E Bi Ci dan seterusnya.

Misi membuat dia mau dan suka serta termotivasi berlajar membaca itu juga selalu saya selipkan saat kami pulang ke tanah air. Syifa, kakak sepupu Nasywa, dan teman-temannya yang biasanya saya serahi tugas itu. Eee barang kali kalau belajar dengan teman yang agak sebaya, dia bisa lebih senang. Saya belikan buku belajar membaca yang harganya lumayan karena kertasnya bagus dan gambarnya juga OK. Lalu apakah berhasil? TIDAK.

Saya sudah pada taraf, ya sudah lah nanti kalau saatnya bisa ya bisa sendiri wkwkwk desperedo. Tapi emang susahnya minta cium. Baca satu kalimat aja bisa berakibat uring-uringan beberapa jam. Daripada merusak mood dan bikin esmosi jiwa, ya sudah saya biarkan sampai waktunya tiba.

Dan ternyata, waktunya tiba juga *jengjengjeng....

Saat anak-anak SD di Indonesia liburan akhir tahun kemarin, sepupu dia yang di Kudus sepertinya dibelikan Hp baru. Awalnya para ponakan ini sedikit-sedikit nge-WA tante kesayanganya ini. "Lagi apa te?" atau "Dek Nasywa lagi apa te?". Ponakan-ponakan itu memang sudah kelas 3 dan 4 SD jadi udah bisa baca tulis. Nah, kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya kasih aja mereka nomer hp satu lagi yang standby di rumah dan biasa dipake Nasywa untuk komunikasi dengan saya. Ya, Nasywa sekarang sudah tidak ke pinitipan lagi. Pulang sekolah langsung ke rumah sampai saya pulang.

Maka, berhubung Nasywa juga libur, dia punya banyak waktu juga untuk meladeni rasa kangen dan ingin tahu kakak-kakak sepupunya itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Lagi apa Dek?" atau "Kamu lagi apa dek?" dan sebagainya kadang masih membuat bingung dia menjawab. Kalau sudah begitu, dia kirim voice message ke saya "Ummi, nuget itu nulisnya gimana? atau sansu itu bahasa Indonesianya apa nulisnya gimana?" dan sebagainya.

Karena setiap hari setengah dipaksa harus paham dengan pesan-pesan WA yang dikirim kakak-kakak sepupunya dan juga terpaksa harus bisa membalas WA mereka, maka Alhamdulillah...sekarang sudah lumayan lancar membaca hahahaha....

Oalah dek...jebul lantarane kok simpel banget. Tapi ga kebayang juga sebelumnya. Lha di-inisiasi dengan buku-buku cerita yang bagus juga ga ngaruh. Malah Umminya suruh bacain. Setengah diancam dibilangin "Kalau ga bisa baca nanti ga ada SD di Indonesia yang nrima kamu lho Dek", dianya woles aja. Saya kayaknya harus kirim surat terbuka, berterimakasih pada Jan Koum dan Brian Acton yang sudah meracik WhatsApp. Mereka pasti juga ga ngira bakal ada manfaatnya selain untuk menyebar hoax wkwkwkw

Tapi tugas belum selesei. Urusan membaca mungkin sudah ga masalah. Sekarang yang segera harus ditangani adalah urusan "Mau menulis". Naaah...entah nanti dengan cara apa lagi dia bisa cepat menulis  abjad dengan bagus dan lancar. Mungkin teman-teman ada saran berdasarkan pengalaman. Bagaimana menginisiasi anak untuk mau menulis dan suka menulis.

Oh ya...sekalian ya, tips buat Umminya Nasywa juga...gimana biar bisa menjadikan menulis paper sebagai sebuah hobi yang menyenangkan. Duuh....




Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...