Skip to main content

A Night to Remember -- Durian

Kemarin, 11 Januari 2017, adalah hari yang patut dikenang. Yang kelak ketika aku menceritakannya kembali, akan ada perasaan yang kurang lebih sama seperti yang kurasakan. Ada haru, ada seru, ada biru juga.

Tapi, malam kemarin, juga adalah salah satu malam yang patut untuk dikenang. Bukan melulu karena malam kemarin sempat sport jantung gegara deadline submission revisian paper yang sudah di menit-menit terakhir dan baru dibereskan, tapi juga tentang kebahagiaan bisa lagi makan duren.


Itu memang bukan foto Nasywa semalam. Semalam, tak ada waktu untuk mengeluarkan ide memotret dia yang begitu kegirangan menerima duren. Sekedar membalas WA suami dan teman saja rasanya malas. Masih ada hal penting yang ingin dan harus diseleseikan secepatnya. Kira-kira begitu pikirku.

Foto itu, adalah salah satu moment 3 tahun lalu saat dia ketemu duren pertamanya setelah diajak tinggal di sini. Semalam, ya kira-kira sama lah ekspresinya. Duren beku itu ditungguin. Di tunyuk-tunyuk memastikan apakah sudah meleleh atau belum es nya. Di taruh di atas rak yang dekat dengan heater biar cepat meleleh. Di bau-bauin sambil menyeringai. Dia sakau.

Yang lebih istimewa adalah, sekarang dia sudah bisa mengekspresikan dalam kalimat. Dia lalu memeluk ku, dan bilang "Terimakasih ya Ummi...pasti okane Ummi jadi habis kan sekarang karena beli duren, Ummi boleh pakai uangku kok, tapi jangan yang seng en ya..." . Kata dia sambil menunjuk celengan beruang yang isinya 10 Yen-an dan 1 Yen-an plus selembar uang 1000 Yen (Sen).

Tak perlulah saya deskripsikan berapa harga tiga pongge durian beku yang beratnya 500gr itu. Karena aku pun ingin segera melupakan bahwa saya pernah mebayar segitu cuma untuk tiga pongge duren. Yang kalau di Indonesia dengan uang segitu saya bisa dapat 6 buah durian lokal. Biar saja. anggap saja ini adalah hadiah buat dia yang sudah dengan setia dan sabar menemani ku menjalani hari-hari di sini. Apalagi beberapa hari terakhir yang cukup menguras energi dan pikiran. Sampe jerawaten di pipi kanan dan kiri plus jidat.

Durian itu, juga adalah hadiah untuknya yang memahami kondisi kritis Umminya. Yang tak punya banyak waktu untuk bermain dengannya. Yang lebih suka glundang-glundung kemulan, makan, tidur, kalau pas hari libur. Dan juga adalah hadiah untuknya yang akan segera mengambil sikap, ketika Umminya bilang "Tolong kerjasamanya ya, Ummi masih ada kerja"

Tiga pongge durian beku itu juga hadiah untuknya yang telah dengan setia mendoakan aku di setiap selepas sholat. Doa yang ku request detail setiap kali waktu sholat datang "Doakan Ummi ya dek, bilang sama Allah, Ya Allah semoga Ummiku cepat selesei kerjanya biar cepat pulang". Doa itu kiranya yang membuat hal-hal sulit dan terasa tidak mungkin akhirnya jadi mungkin dan bisa dilalui. Doa yang mungkin beberapa kali dia lupa panjatkan, karena tergesa ingin segera kembali bermain atau tertarik dengan barang yang tergeletak di dekat tempat sholat.

Meskipun cuma tiga pongge, tapi bagi dia itu adalah hadiah paling mewah. Untuknya yang sekarang sudah mulai menikmati mengeja huruf-huruf Al-Quran. Yang meminta nambah satu ayat lagi setelah jumlah ayat yang disepakati di awal selesei dibaca. Meskipun, kadang dia kehilangan kesabaran. Saat Umminya begitu teliti dan banyak mengoreksi tajwidnya, dan nafasnya sudah mulai tersengal menahan emosi.

Seperti malam tadi. Ketika dia menemui "nun mati" dan "huruf Ya" di depannya. Dia lupa pertama dia baca nun mati sebagai idhar. Jelas. Lalu aku menggelang tanda dia salah. Dia mencoba lagi dengan meng-ikhfa-kan nun tersebut, dia samarkan. Aku masih menggeleng. Sejenak dia berfikir. Dia ulangi lagi menyamarkan "nun mati"-nya, dan tentu itu masih salah. Lalu dia idhghom-kan "nun mati"nya. Gelenganku makin keras. Dia coba lagi idhar-kan. Masih ku gelengkan kepala. Dan dia pun menyerah. Akhirnya kesabarannya hilang. Ketika ku beri contoh yang benar, dia membela diri dan berkata bahwa sebelumnya dia juga ada membunyikan "nun mati" nya seperti itu. Tapi ku bilang ga ada.

Endingnya, dia menangis. Dan sebelum tangisnya semakin kencang segera saja ku peluk dia sambil berkata "Kok malah kamu yang nangis, harusnya aku yang nangis. Kerjaan belum selesei, sudah jam segini, ga ada balasan email dari pak guru, bingung harus gimana. Harusnya aku yang nangis bukan kamu.". Lalu kau pun memelukku dan bilang "Maaf ya Ummi...."

Dan kita pun menangis berdua...dan seperti biasanya, isakan ku lebih keras dari isakanmu.

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...