Skip to main content

Aku, Mae dan teh kotak itu....

Hari ini seharusnya sudah terjadwal untuk trip ke Hagi, melihat bangunan-bangunan tua dan melihat proses pembuatan keramik yang menjadi salah satu icon nya Yamaguchi. Tapi entah kenapa rasanya badan ini tak mau diajak pergi jauh. Otak ini juga sedang ingin sehari saja beristirahat, sepekan ini bagain otak pengontrol bahasa bekerja keras, karena harus mikir kata-kata dan kalimat yang tepat saat berbincang tidak menggunakan bahasa Ibu, bahasa Indonesia. Hehehe ternyata capek juga ngomong bahasa inggris plus nihonngo campur-campur, bikin laper hahaha alasan.

Ehhh, hari ini hari Ibu ya?? mhh... IBU, BUKE, MAMA, MAMI, UMMI, EMAK, MAE. Sepanjang hidup yang hampir 31 tahun ini, Tuhan mengirimkan banyak sekali Ibu-ibu luar biasa dalam hidupku, sebanyak DIA mengirimkan bapak-bapak yang luar biasa juga. Coba ku ingat, ada dua orang ibu yang bersedia memberikan ASI-nya untuk ku ketika ibuku tidak ada, mereka adalah Mbak Mus dan Mbak Wanti. Lalu ada ibu yang hampir setiap hari memasakkan makanan paling lezat di dunia waktu itu, untuk makan siangku, ketika ibuk ku juga sibuk mencari sesuap nasi, dia adalah Mbak Sum (Ibu Munawar). Lalu, ada ibu yang menginspirasi, memberikan kasih sayang sebesar kasih sayangnya pada anak-anaknya, yang langsung telp ketika aku bilang "Ibu, saya pusing", beliau adalah Ibu Hj. Prof.Dr. Sriani Sujiprihati (almh). Sang pemulia tanaman pepaya. Lalu, ada Ibu yang memberikan inspirasi agar aku melanjutkan sekolah, menjadi ibu yang kuat, dan membawaku hingga ke titik ini, Ibu Dr.Endang Sulistyaningsih. Then, Ibuk yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dan menyayangi suamiku, Ibunda Chusnul Khotimah. Yang telah menjadi ibu mertua paling hebat di dunia. Yang ditengah kesibukannya mendidik anak-anak berkebutuhan khusus masih selalu punya waktu untuk anak-anaknya yang 6 jumlahnya. Dan lalu ditambahi aku, sang menantu bandel hehehe.

Tapi, hari ini aku ingin menuliskan sesuatu tentang Ibu ku. Ibu Hj. Sri Aminah.
Aku, kami anak-anaknya memanggil beliau Ma'e. Beliau adalah anak kedua dari 4 bersaudara. Menjadi anak dari seorang wirausahawan dan petani membuatnya memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Beliau tidak tamat SMP. Ketika ku tanya kenapa tidak diseleseikan? Ma'e bercerita "Karena aku malu, dulu sepatuku paling jelek dan rusak karena harus jalan kaki dari Talun-Muntilan (PP = 15km)". Sri Aminah, menikah dengan Sigit Pranowo pada umur 14 tahun. Beliau berhasil melahirkan 6 orang anak, namun hanya 3 yang bisa dibesarkan. Anak pertama, anak ketiga dan anak kelima meninggal.  Tinggalah kami, Siti Nur Laela, Muhammad Heri Kusnadi dan Nur Aeni Ariyanti.
Beliau menjadi istri yang patuh pada suami. Rela meninggalkan pasar dan bekerja di sawah saja, meskipun hati kecilnya ingin sekali berjualan lagi. Merawat Pa'e yang kemudian sakit kanker tulang, plus harus merawat kami bertiga.

Aku..masih ingat dosa besar yang ku lakukan waktu umur 3 tahun. Dosa besar karena telah membuat ma'e menangis sedih dan sampai sekarang aku belum meminta maaf khusus untuk kejadian itu.
Hari itu aku diajak Ma'e menjenguk Pa'e yang dirawat disalah satu rumah sakit tradisional di Salatiga, karena dulu belum tau kalo itu kanker tulang. Kami berangkat dari rumah menuju terminal muntilan. Waktu itu, bis sudah menjelang berangkat, namun aku masih sempat melihat pedagang asongan membawa teh kotak. Aku sudah bilang "Ma', aku pingin teh kotak", tapi karena terburu dan takut ditinggal bis maka kami langsung naik saja. Kejamnya aku, di dalam Bis masih merengek minta teh kotak, merengek dan merengek dan akhirnya pecah tangisku minta teh kotak. Aku yakin, sebenarnya kenapa waktu itu tidak dibelikan karena uang Ma'e tak cukup banyak. Bahkan mungkin dia harus berhutang untuk bisa menjenguk suaminya dan membawaku. Tapi lihat, Aeni kecil itu tak tau apa-apa.  Menangis keras di dalam bis, membuat Ma'e ikut menangis tak tau harus berbuat apa. Beruntunglah supir dan kondekturnya baik hati, akhirnya bis berhenti di depan sebuah warung dan aku dibelikan teh kotak sama kondekturnya...

Ketika Pa'e meninggal bulan Ramadhan tahun 1985, Ma'e harus menanggung semua hutang yang ditinggalkan untuk pengobatan Pa'e dan juga membesarkan kami bertiga. Tapi lihat, tak satupun barang peninggalan Pa'e yang terjual. Sawah kami masih utuh. Rumah kami bahkan tidak gedeg lagi. Kebon kami disulap jadi kebon salak. Dan kami bertiga tumbuh dengan baik. Meskipun semua tidak terjadi sekejap mata. Berat pasti, tapi yang ku lihat, amat sangat jarang Ma'e menangis hanya karena tidak punya uang. Beliau hanya menangis kalo kami, anak-anaknya ini melanggar aturan agama, menunda-nunda sholat dan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Ma'e berhasil memberikan pekerjaan bagi beberapa ibu lain dengan menjadi buruh gendong  membawa sayuran setiap pagi ke pasar. Ma'e juga bisa membuat pak lik berhasil membangun kerajaan bisnis cabe, dan membuat keluarga kami keluarga cabe Yumi Putra. Ma'e, amat sangat merasa bersalah karena telah membebankan sebagian tugasnya kepada mab Iti untuk mengasuh ku dan menjagaku, hingga tak cukup banyak waktu belajar. Meskipun dulu bandel setengah mati, tapi dengan doa dan kesabaran beliau,Ma'e bisa melihat anak laki-laki satu-satunya sekarang menjadi orang sukses, tak harus mencungkil celengan adeknya klo mau beli rokok. Dan lihatlah...entah jadi apa aku kalo bukan karena Ma'e selalu ada di sampingku.

Rasanya, belum ada yang bisa ku lakukan untuk Ma'e, untuk membahagiakan beliau. Bahkan sampai detik ini aku masih merepotkan beliau dengan meninggalkan Nasywa tinggal bersama beliau, sedang aku di sini.
Ibuku, mengajarkan banyak lagu, mengajarkan banyak permainan, mengajarkan aku tentang arti kesetiaan, mengajarkan aku untuk jadi wanita kuat dan mandiri.
Ibu ku, selalu tau yang terbaik untuk ku, meski sekarang terkadang aku merasa lebih tau mana yang terbaik untuk ku.
Ibu ku, yang doanya untuk ku tak pernah terputus.
Maka, jika aku bisa berjalan sejauh ini, sungguh semua karena Allah sayang Ibu ku.
Ma'e... Terimakasih untuk semua nya

Dan untuk teh kotak waktu itu,
Maaf kan aku.......

(Ditulis 4 tahun lalu, di hari ibu)



Dan sampai sekarang, cuma kepada Mae aku bisa nangis gero-gero wadul kalau dimarahi pak Guru. Dan lihatlah foto itu, foto yang diambil saat aku menelpon kemarin lusa. Cuma Mae mungkin satu-satunya Ibu yang bahkan tidak tahu paper itu apa, scopus itu apa, tapi menasehati ku agar menuliskan nama UNY di setiap paperku. Well tenan...

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...