Skip to main content

[Guruku] Bu Harti

Bu Harti adalah guruku Bahasa Inggris sewaktu aku di MTs Muhammadiyah Muntilan. Dari beliaulah pertama kali aku belajar melafalkan ABCD versi Inggris. Tahu apa itu noun, verb, adjective dan tahu pula apa itu present tense, pas tense dan masih banyak lagi lainnya.
Bu Harti seorang guru senior waktu itu. Meskipun cara mengajarnya masih conservative tapi menurutku cukup cocok untuk  atmosfer kelasku yang cenderung juga conservative. Bu Harti juga orangnya galak tegas. Beliau paling suka memberi PR dari buku LKS. Mungkin karena saking senengnya aku sama pelajaran ini, maka aku selalu bisa menyeleseikannya lebih dari tugas yang diberikan bu Harti, dan itu jadi masalah buat temanku yang lain.

Ceritanya pada suatu hari yang cerah, bu Harti memulai pelajaran dengan agak emosi karena Agus, temanku yang bagus ndugal membuat keributan. Entah ini sudah kali ke berapa dia begitu, intinya selalu berbuat ramai dan mengganggu jalannya pelajaran. Tentu saja dia tidak sendiri, mana seru bikin rame kok sendiri namanya gila jadi ada beberapa teman dengan misi yang sama melakukan tindak kericuhan, seperti Tofan, Edi dan lainnya.
Aku yang waktu itu duduk di bangku dekat pintu lalu diambil buku LKS nya oleh bu Harti. Dibukalah buku itu satu-satu dan berujarlah beliau "Iki, mbok koyo Nur Aeni, sregep kabeh PR dikerjakan, ora malah nonton TV koyo Agus kui, marai ra nggarap PR" dan dengan tanpa rasa bersalah aku pun bilang "Kulo wau dalu nonton TV kok bu" dan Agus and the gank pun tertawa "hahaha..." ah namanya Guru pasti ga kurang akal, masa kalah sama muridnya "Lho, nonton TV ning lak PR e dikerjakan, lha kowe lak ora Gus!" dan lalu Agus cs pun terdiam seribu bahasa.

Bu Harti juga sayang sekali pada ku. Sampe-sampe Dody dan Endang pun cemburu dan bilang bahwa aku bisa ringking 1 karena bu Harti yang pilih kasih, padahal nilai kami selalu bersaing. Tapi memang, bagiku bu Harti bukanhanya sebagai Guru. Beliau adalah Ibu, ibuku. Dan begitulah aku mengaggap guru-guruku yang lain. Aku menganggap mereka bapak dan ibuku sendiri. Kalau yang masih muda ya aku anggap sebagai kakak ku sendiri. Sehingga selama ini yang terjalin diantara kami adalah rasa lebih dari sekedar guru dan murid. Silaturahim kami berjalan terus sampai detik ini.

Masih ingat bagaimana bu Harti dan Bapak (suami bu harti) waktu itu benar-benar menganggapku seperti anaknya sendiri. Tahun 1998 saat ada kerusuhan dan banyak angkot yang mandeg tidak mau narik, otomatis membuatku susah kalau mau sekolah. Tapi Ibu dan Bapak selalu menjemputku dengan mobil dinas bapak. Kebetulan putrinya bapak adalah kakak kelasku di SMU, jadi kami satu sekolah. Ingeeet banget pagi itu aku bahkan belum selesei pakai jilbab ketika klakson mobil bapak berbunyi. Aku berlari keluar sambil bilang "Sekedap pak" ga sopan banget untuk ukuran orang yang nebeng. Dan aku tahu betul, anaknya Bapak (lupa namanya) mrengat mrengut sebel karena harus nunggu aku dandan padahal dia adalah kelas jam ke-0. Tapi begitulah bapak dan ibu, bagi mereka aku ini ya anaknya.

Maka tidak pernah berlebihan jika bagiku, bu Harti adalah guru yang menyirami benih-benih keinginanku menguasai dan menaklukan bahasa Inggris. Beliaulah yang menanamkan pondasinya dan memperkukuh rasa cintaku dengan bahasa yang satu ini. Meskipun lebih dari itu, kata-kata Mae yang selalu bilang "Kok pinter tenan to yo" saat ada penyanyi Indonesia melagukan lagu barat adalah pemantik semangat yang tak pernah padam. Karena bu Hartilah juga aku bisa sampai di sini. Bagaimanapun beliau telah membuatkan satu anak tangga yang kokoh untuk ku lalui sehingga aku bisa sejauh ini melangkah.

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...