Sejak mendengar cerita mbak Siti Maryamah tentang burn-out yang pernah dialaminya-- dan mungkin sampai sekarang masih, meskipun sudah banyak berkurang tentu saja karena si Reza-- aku jadi sering menengok ke dalam. Bukan ke dalam rumah, bukan. Apalagi ke dalam saku, tentu di saku saya hanya akan dijumpai remasan tisyu bekas lap tangan makan gorengan.
Yep...aku menengok ke dalam diriku sendiri, ke hatiku, ke fikiranku. Adakah gejalanya aku rasakan juga?
Beberapa kali membaca rentetan gejala burn-out yang banyak beredar di jagat maya, kok rasa-rasanya aku merasa semua gejalanya ada atau paling tidak pernah ku alami ya? Coba saja kalau ga.
Sering capek. Yeah...aku sedikit-dikit rebahan, dikit-dikit rebahan. Rebahan itu korelasinya positif signifikan dengan lelah boyok. Fix, aku sering merasa kelelahan dan itu membuatku pingin rebahan. Pas udah rebahan, kepala ketemu bantal, tangan ketemu guling, adegan apalagi yang akan bisa dibayangkan selain, pelor. Nempel trus molor. See... kamu tidur karena kamu lelah. Kamu lelah padahal ga ngapa-ngapain cuma scrolling timeline dan baca WAG kantor.
Merasa jenuh dengan pekerjaan.
Hmm...sindrom WFH ini mungkin tidak hanya aku saja yang mengalami. Kamu...kamu...kamu...dan kamu yang senyum-senyum di sana pasti pernah merasa jenuh dengan kerjaan yang ketika dikerjakan di rumah itu ga tampak ujungnya. Kalau kerja di kantor, dengan jam kantor dan rutinitas yang pasti, maka menghitung jam menunggu waktu pulang itu sudah kebahagiaan tersendiri. Tapi WFH... kamu mau menunggu jam pulang? Lha sedari bangun tidur tadi kamu di mana? Alcatras??
Dengan dengan jam kerja yang tak terhingga, kamu juga merasa pekerjaanmu tak terbatas, hingga setiap selesei satu sudah menunggu yang seribu satu.
Trus satu lagi gejala burn-out menurut versi WHO adalah, terjadi penurunan profesionalisme kerja. Hal ini bisa terlihat dari hal yang paling sepele yaitu,"berangkat" kerja setelah mandi, sikat gigi, pakai minyak wangi, dan baju rapi. Sesekali...atau bahkan seringkali, kita mengawali kerja dengan daster bau trasi, tapi jilbab rapi. Jikapun mau dikamuflase, ya cukup cuci muka dan pakai bedak buat cewek. Buat cowok, ya sama aja, cuci muka rambut dibasahi klimis, pake batik dengan celana kolor atau bahkan sarungan. Fix secara performance kamu akan dipertanyakan keprofesionalannya.
Ditambah lagi, banyaknya spot menarik di rumah yang membuatmu kadang tak sanggup untuk berpaling darinya pasti sebentar atau lama akan memperlambat seleseinya tugas kantor ya ga? Spot-spot menarik itu bisa berupa meja makan yang penuh kudapan, cucian piring di dapur yang seperti melambai ingin segera dieksekusi dan...tentu saja...bantal guling. Itu tadi kembali ke poin satu. Dikit-dikit rebahan, bentar-bentar gegoleran.
Lalu, apakah karena mentang-mentang semua gejala itu kita rasakan, trus kita sedang mengalami burn-out?
Nanti dulu.
Kalau hanya dengan membaca list gelaja dari web trus bisa mendiagnosa, fakultas kedokteran itu manalah laku.
Sebenarnya, dan ternyata, kita ingin sering rebahan itu tidak selalu karena alasan capek. Bener apa betul? Kita rebahan itu kadang karena memang ingin mencari suasana baru. Mengendapkan pikiran, mencari kenyamanan. Agar apa? Agar bisa kembali fokus pada pekerjaan. Muncul ide-ide baru yang lebih fresh. Semangat baru yang lebih prima. Dan itu bisa didapat salah satunya adalah setelah kita rebahan.
Saat kita rileks rebahan, dilanjutkan melamun, maka otak kita punya kesempatan me-knockdown hal-hal yang ga relate sama apa yang sedang menjadi fokus kita. Nah saat itu, otak jadi lebih punya banyak tenaga untuk fokus dan akhirnya menghasilkan ide-ide yang lebih segar. Asal, melamunnya jangan kebablasan.
Nah gimana tentang kejenuhan dan menurunnya performance kerja?
Saya rasa, itu semua masih bisa banget dimaklumi. Kita sedang belajar beradaptasi dengan hal baru yang bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ada yang bisa cepat beradaptasi, ada yang masih tergagap-gagap meskipun sudah setahun. Keluhan, makian, ratapan, nyatanya tak membuat semuanya jadi lebih baik bukan?
Jadi kalau misal ada kayak gejala burn out, ga usah terlalu diambil hati. ga usah terlalu difikirin banget. Kita ga sendiri, temennya banyak, sedunia malah kurang banyak apa coba.
Kalau kata mbak Siti Maryamah, sesembak usia 40an penggemar Reza Rahardian itu, di setiap level hidup, dibutuhkan kita dengan versi yang berbeda. Saat ini, versi yang dikit-dikit rebahan boleh jadi adalah versi yang paling cocok.
Comments
Post a Comment