Skip to main content

Belajar dari Aska Kecil

Tulisan ini sudah dimuat di Rahma.id dengan Judul "Belajar dari Aska" pada 5 Mei 2020 Link: https://rahma.id/belajar-dari-aska/ 

Aska namanya. Entah nama lengkapnya siapa saya tidak tahu. Mungkin dulu waktu ‘tilik bayi’ (nengok bayi) saya pernah dikasi tahu nama lengkapnya. Tapi bukanlah saya jika mudah mengingat nama seseorang. Aska kelas 1 SD sekarang. 

Dia tinggal di ujung kampung, lumayan jauh dari pemukiman. Dulu Bapaknya adalah seorang TKW, bekerja di Malaysia agar bisa nabung dan membangun rumah sederhada di pojokan sawah petak warisan Kakeknya Aska. Bapaknya memutuskan pulang dan tidak meneruskan menjadi TKW setelah rumah bisa berdiri. Berdiri saja, asal tidak lagi kehujanan dan kepanasan. Perkara di dalamnya masih seadanya ya itu dipikir nanti sambil jalan. Soalnya juga saat bekerja di Malaysia, mata Bapak Aska penah kena pecahan material sehingga ada pelukaan dan butuh dioperasi. Berhubung penanganannya sudah agak telat, mata Bapak Aska yang sebelah sekarang tidak lagi seperti dulu. Ada bagian kornea yang robek. 

Ibu Aska seorang pelayan warung makan di pinggir jalan dekat lapangan Desa. Masa pandemik Covid-19 begini, dia dirumahkan. Warung memutuskan tutup sebab tak banyak bahkan kadang tak ada seorangpun yang datang buat jajan ke warung. Apalagi Ibu Aska sedang hamil besar, sekitar 2 bulan lagi lahiran. Rawan jika harus tetap bekerja di luar. Ayah Aska juga kena imbas Covid 19. Tempat dia biasa bekerja kehilangan banyak permintaan sehingga sebagian besar karyawannya di rumahkan. Praktis, sekarang kedua orang tua Aska adalah ‘semi pengangguran’. Kenapa semi pengangguran? Sebab mereka masih punya kegiatan mencari rumput. Kami menyebutnya sebagai ‘ngarit’. 

Mereka termasuk beberapa keluarga yang sekitar 1,5 tahun lalu terpilih mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa kambing hidup sepasang. Sekarang kambingnya sudah 4. Entah berapa betina berapa jantan saya tak sempat bertanya. Jadi, meski tidak bekerja, mereka ada pekerjaan, yaitu ngarit. Tapi ngarit bukanlah jenis pekerjaan yang bisa menghasilkan uang segar secara instan. Ngarit termasuk ke dalam pekerjaan investasi. Suatu saat nanti saat waktunya tepat, kambing bisa dijual. Mungkin pas menjelang Lebaran Haji. Atau barangkali bagi Bapak Aska, kambing itu akan dijadikan kambing untuk aqiqahan adiknya Aska yang sebentar lagi lahir. 

Aska yang masih kelas 1 itu sudah puasa penuh. Dia sempat tidak puasa penuh 1 kali sebab Bapak Emaknya kesiangan bangun sehingga tidak sahur. Dan Aska tak kuat jika harus puasa sampai sore. Hingga akhirnya saat Dhuhur dia memutuskan melakukan sahur plus buka sesi pertama. Aska sudah bisa membaca Al-Quran. Di kampung itu sangat wajar anak kelas 1 SD sudah bisa membaca Al-Quran. Kegiatan TPA nya berjalan cukup baik. Ditambah lagi, di masjid ada seorang Bu Kaji (Bu Haji) yang sabar menyimak anak-anak membaca Al-Quran saban ba’da Maghrib. 

Bu Kaji dan beberapa ibu-ibu lain selalu siap menerima serbuan anak-anak. Tapi Aska selalu memilih Bu Kaji. Sebab konon, jika ngaji dan disimak Bu Kaji, nanti pas khatam akan diberi hadiah 50rb rupiah. Sudah dibuktikan oleh beberapa kakak kelas Aska. Saat mereka khatam dan yang menyimak Bu Kaji, maka akan diambilkan uang 50rb. 

Suatu siang awal bulan Ramadhan ini, selepas sholat Dhuhur, Aska mendekati Bu Kaji. 
“Bu Kaji, aku arep ngaji nggih?” (Bu saya mau mengaji ya?) Bu Kaji yang sedang membuka Al-Quran dan hendak melanjutkan darusan segera menutup Al-Qurannya dan mengiyakan. 
Sebelum Aska mulai mengaji, Bu Kaji melihat Aska menggenggam uang 2.000 di tangannya. 
“Kok nggowo duit ki arep jajan po Ka?” (Kok bawa uang kamu mau jajan ya?) 
“Mboten kok, niki wau disukani Simbah. Hadiah le kulo poso. Ajeng tak ngge tumbas susu leh energen kok kurang Bu” (Ga kok, uang ini diberi oleh Simbah sebagai hadiah karena aku puasa. Rencana mau buat beli susu sama energen tapi masih kurang)
“Arep ge sahur po susune?” (mau buat sahur ya susunya?) 
“Enggih Bu, ben kuat le poso” (iya bu, biar kuat puasanya) 
“Nyuwun tambah Bapakmu wae mengko, Ka” (minta tambah Bapakmu saja, ka) 
“Bapak kaleh Mamak sek mboten nyambut damel e Bu Kaji. Wah jan” (Bapak sama Mamak sedang tidak berkerja semua, Bu Kaji) 

Siang itu selesei mengaji Aska mendapat tambahan uang dari Bu Kaji sehingga susu dan energen masing-masing 1 sachet bisa dia beli. Dia pulang sambal berlari bahagia. Paling tidak sahurnya besok pagi sudah terjamin ada. 

Lalu di suatu sore, anak Bu Kaji yang kebetulan pulang dan membawa beberapa paket bantuan meminta tolong Bu Kaji untuk merekomendasikan beberapa keluarga yang benar-benar membutuhkan. Sebab, akhir-akhir ini banyak sekali orang yang mengaku-ngaku membutuhkan dan merasa berhak mendapatkan bantuan. Padahal, masih ada keluarga lain yang sejatinya jauh lebih membutuhkan tapi malu untuk bilang. Nama Aska muncul dalam list penerima paket sembako itu. 

Anak Bu Kaji lalu mulai menyebarkan paket sembako ke masing-masing rumah. Hingga urutan ke sekian, sampailah di rumah Aska. Aska dan Bapaknya sedang duduk di luar rumah. Mamaknya sedang menjemur baju. Sepertinya habis mandi sebab dia masih menggulung rambutnya dengan handuk. Sembako pun diserahkan. Beberapa kilogram beras, beberapa bungkus mie instan, kecap, minyak goreng dan telur. 

Aska melihat Mamaknya menerima bantuan itu dengan wajah yang sulit dilukiskan. Mungkin dia bersyukur, setidaknya sahur nanti ada telur dan ada mie instan kesukaannya. Atau dia sedang mempertimbangkan, untuk buka nanti dia mau minta dibuatkan telur ceplok atau mie goreng saja. 

Semalam setelahnya, ba’da sholat tarawih, Aska dipanggil Bu Kaji ke rumahnya. Kebetulan Bu Kaji panen jambu agak banyak. Dia ingat Aska suka jambu merah. Aska diberi beberapa butir jambu dan sepotong semangka. Tentu saja dia gembira. Senyum dia lebar sekali. Saat dia berbalik, anak Bu Kaji yang sore 2 hari lalu membawakan paket sembako sedang kelyar dari kamar. Mereka bersitatap. Anak Bu Kaji pun ingat cerita tentang Aska dari Ibunya, lalu dia berinisiatif ingin memberikan sekedar uang jajan buat Aska. 

“Ka, sik tak paring duit nek arep ge tumbas susu ya” (Ka, sebentar aku ambilkan uang buat beli susu ya) Dengan sigap dia ambil dompet di tasnya dan dia buka. Baru hendak dia keluarkan uang, Aska sudah memotong dan bilangs ambil berjalan cepat ke luar rumah Bu Kaji. 
“Mboten mboten, mbotensah, sik wingi niko tasih katah kok” (Tidak-tidak, yang kemarin dikasi itu masih banyak) Anak Bu Kaji Cuma bisa diam dan urung mengejar. 

Dia berusaha menghargai keputusan Aska yang tidak ingin lagi menerima bantuan. Mungkin menurut Aska, apa yang mereka miliki sekarang itu sudah cukup. Dia barangkali ingin menjaga izzah (kehormatan) Bapak dan Mamaknya. Bahwa meskipun mereka dalam keadaan yang sederhana tapi mereka tak ingin dianggap sebagai peminta-minta. 

*Diceritakan berdasarkan kisah sebenarnya dengan sedikit pemanis buatan dan irisan bawang. Yogyakarta, Malam Ramadhan ke-11 1441H

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...