Skip to main content

[PARA MANTAN] Pengasuh Kecil untuk Ari Kecil



Saya akan mengawali kisah "PARA MANTAN" ini dengan cerita tentang seorang teman, sekaligus pengasuh, saat saya kecil dulu.

Lek Sih namanya. Kalau tidak salah, dia adalah anak paling kecil dari Wo Yam. Wo Yam ini merupakan dukun bayi paling mumpuni dan seniro di kelurahan Banyudono. Beliau punya anak cewek semua, dan Lek Sih adalah anak paling bontotnya. 

Lek Sih mulai ikut membantu Mae menjaga saya sejak kira-kira umurku 2 tahun. Sebab sejak umur 2 tahun itu, saya harus sering ditinggal Mae. Mae harus mengantar Pae berobat ke sana ke mari. Kadang bahkan Pae harus ditinggal di sebuah balai pengobatan tradisional dan kemudian Mae tiap 2 hari sekali menjenguk sambil membawapkan baju ganti. Kalau tidak ada Lek Sih, maka otomatis saya harus dibawa-bawa. Itu sungguh sangat merepotkan.

Saat Pae meninggal, Lek Sik menggendong saya sejak pagi. Tak sedetikpun Lek Sih menurunkan saya. Dia menggendong saya di depan. Jika capek, dia pindah saya ke belakang, di atas punggungnya. Sambil menggendong saya, Lek Sih ikut membantu pekerjaan dapur atau apapun yang bisa dia lakukan. Itu jika saya sedang diam saja. Tapi prioritas utamanya adalah membuat saya tidak rewel selama proses perawatan jenazah Pae hingga dikuburkan. Dia pastikan saya tidak menangis sebab tentu itu akan menambah pilu hati Mae. Dan mungkin Lek Sih tidak mau para tamu yang melihat saya akan bertambah rasa kasihannya jika saya sampai menangis. Lek Sih benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik hari itu.

Samar-samar saya ingat saat Pae dibawa ke pemakaman, Lek Sih membawa saya juga ikut ke pemakaman. Kami tidak masuk. Hanya di luar pagar. Lek Sih mungkin ingin memberikan kenangan yang tidak akan terulang itu buat saya. Meskipun tentu otak mungil saya belum bisa menympan semua detailnya dengan baik. Semua samar-samar. Termasuk isak Lek Sih yang terdengar samar-samar. Dia pindahkan tubuh saya dari punggungnya ke depan. Dia peluk saya tanpa berkata-kata. Saya juga dulu tidak tahu apa maksudnya. Saya baru tahu setelah saya dewasa.

Kenangan lain tentang Lek Sih yang paling saya ingat adalah, ketika Lek Sih harus menggendong saya sambil berlari sebab rumah kami dimasuki Dayat. Dayat adalah salah satu dari 2 orang gila yang sering wira-wiri di jalan-jalan kampung kami. Satu lagi namanya Lek Manah. Berbeda dengan Lek Manah yang cenderung banyak bicara dan ramah, Dayat itu misterius. Dia diam. Berjalan diam dan menatap ke depan kosong. Meskipun tidak pernah ada catatan dia pernah menggangu atau menjahati orang lain, Dayat tetaplah bukan orang yang akan diterima baik di rumah siapapun. Maka ketika siang itu saya sednag tidur, lalu Dayat masuk ke rumah, Lek Sih langsung menggendong saya dan berlari menjauh dari rumah. Dia pasti sangat ketakutan. 

Setelah saya besar, hingga setua ini, Lek Sih masih menganggap saya anak kecil. Dia akan melayani saya. Mijitin, membuatkan minum, atau apapun. Saya justru berfikir dia tidak ingin kami bersitatap lama-lama. Sebab jika itu terjadi, Lek Sih akan menangis. Lek Sih mudah sekali memangis setiap ketemu saya. Dia seperti sedang membuka album-album rekaman kenangan masa kecil saya bersamanya. Kadang dia menangis sambil tertawa menceritakan betapa lucunya saya dulu. Lalu tiba-tiba dia akan menunduk dalam dan kehabisan kata-kata, sambil memegangi tangan saya.

Di hadapan Lek Sih saya juga mendadak berubah menjadi anak-anak yang ingin dimanja. Saya merasa aman bersamanya. Saya tahu, ada nama saya di bait-bait doa yang dia lantunkan tiap malam. Mungkin kadang nama saya tak dia sebut setiap hari, tapi ada doa-doa dia yang ikut membentangkan jalan di depan saya. Dia adalah orang yang mewarnai, menemani, mendukung dan melindungi saya sejak kecil hingga setua ini. 

Tahun ini kami belum berkesempatan ketemu. Lebaran kemarin saya benar-benar tidak ketemu dengan "PARA MANTAN' itu. Covid ini menjadikan kami harus menahan rindu sementara waktu. 

Lek Sih sekarang tinggal di Magelang kota. Dia bekerja membuat jajanan pasar yang dia titipkan di beberapa pedagang pasar. Dia juga menerima pesanan aneka masakan. Dia juga pintar bikin snack lebaran. Anaknya 2 kalau tidak salah. Satu laki-laki dan satu perempuan. Lek Sih sudah semakin tua, tapi di mata saya, dia masih Lek Sih yang dulu. Dan semua orang tahu, Lek Sih adalah pengasuh Ari Kecil.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...