Hari ini langit biru sempurna. Angin bertiup tidak terlalu kencang tapi cukup menyeimbangkan teriknya matahari sehingga masih tetap berasa sejuk. Musim semi memang sudah separoh jalan. Sakura sudah gugur, bahkan bekasnya sudah lenyap dibawa air hujan yang 12 jam penuh dimuntahkan dari langit Yamaguchi senin kemarin. Pohon sakura yang meranggas selama musim dingin, lalu mendadak penuh bunga mungil rapuh nan indah itu, sekarang sudah menghijau kembali. Kehidupan baru dimulai lagi. Pohon-pohon bersemi. Bunga-bungaan musim semi lain seperti tulip dan beberapa irish bermekaran beraneka warna. Pucuk-pucuk bunga khas musim panas pun mulai dipenuhi kuncup bunga. Pink, ungu tua, merah muda dan putih. Mungkin sebulan lagi wajah Jepang, Yamaguchi khususnya, akan dipenuhi bunga-bungaan itu. Tentu juga musim hujan akan segera datang. Musim hujan yang cuma sebulan tapi hujan bisa datang saban hari itu selalu menjadi momok beberapa orang, tapi berkah buat yang punya coin laudry-an.
Langit seharian ini seperti memang diciptakan buatku. Aku yang sedang entahlah. Tuhan seperti ingin bilang "Tuliskan di situ galau dan takutmu, lalu akan ku hapus semua bersama angin itu". Bagi sebagian lain mungkin sabda Tuhan berbeda, "Tuliskan di langitku semua mimpimu, barangkali diantaranya aku bisa kabulkan suatu waktu". Aku merasakan Tuhan berkata keduanya kepadaku. Dia ingin aku menuliskan mimpi lain setelah mimpi ini bisa dan hampir selesei dilaksanakan. Dia juga ingin aku percaya bahwa langit itu luas. Kegelisahan dan kegundahan ini bahkan tak bisa serupa awan yang bisa menodai birunya langit itu. Maka jangan diperturutkan.
Semua kata-kata, kalimat-kalimat itu terus saja kurapalkan dalam hati. Seperti pesan Mae "Hatimu kau nasehati sendiri, kau kuatkan sendiri", aku sedang melakukannya. Aku memberi tahu hatiku bahwa tak perlu risau, ini sudah masanya. Ini sudah sampai pada ujungnya. Ini yang kau perjuangkan selama 4,5 tahun ini. Ini waktunya kau menutup buku perjalanan ini dengan gilang gemilang dan kebanggan. Meski di dalamnya ada bau masam keringat, bau hambar air mata dan anyir darah. Tapi toh semua memang harus begitu dan kamu tak sendiri. Di tepian benua lain ada ribuan yang juga mengalami hal serupa. Jika mereka bisa maka kenapa kamu tidak. Lagi-lagi aku menasehati hatiku.
Aku memang sedang gundah. Entahlah. Terkadang ada terbersit ketakutan dan kekhawatiran. "Mampukah aku?" lalu tanya lain mulai muncul "Sanggupkah aku?". Kadang ku fikir, mungkin jika setiap manusia diberi tahu kapan dia akan mati 2 bulan sebelumnya, perasaan yang ada akan semacam ini. Akan seruwet ini. Berkecamuk berbagai tanya di kepala. Jika kepala serupa rak buku, maka saat in semua bukunya sedang berserakan tak beraturan. Aku bingung harus memulai dari mana menatanya. Dan ini baru pertama kali kurasakan.
Waktu dulu S1 dan sudah waktunya menulis skripsi, seingatku aku senang dan gembira saja. Ada saat aku kebingungan harus bagaimana ketika Prof Bambang tak berkenan dengan tulisanku tanpa memberi tahu aku harus bagaimana. Beliau cuma bilang "Coba dilihat dari perspektif lain". Saat itu aku menemukan mbak Fitri. Karena skripsiku berkaitan dengan kemasan produk maka kepadanya aku meminta pertimbangan. Jika dibahas dari sudut pandang anak teknologi pertanian, skripsi ini akan berbunyi gimana? Dan diskusi malam itu berbuah manis. Demikian barangkali karena selanjutnya sampai hari ujian semua berjalan dengan baik. Cerita tragisnya aku sudah lupa. Tapi aku ingat malam hari sebelum ujian aku meng-sms semua pembimbing minta doa. Padahal beliau-beliau juga yang besok mau nguji.
Waktu S2 dulu juga rasanya tak begini-begini amat. Tesis baru resmi ku tulis sekian bulan setelah selesei penelitian. Melewati jeda pernikahan dan kegugguran anak pertama. Aku lalu bertekad menyeleseikannya secepat dan sebaik mungkin. Suami mendukung, alam semesta pun ikut merestui. Ujian lancar semua baik sampai wisuda. Lagi-lagi aku sudah lupa cerita-cerita tragis dibaliknya.
Saat S2 yang kedua kalinya, sedikit berbeda. Selain harus menuliskan dalam bahasa lain, kesulitan yang aku hadapi adalah mengelola hati. Saat itu suami dan Mae sempat bilang "Pulang saja, tidak usah meneruskan sekolahnya". Saat itu rasanya ingin seketika angkat koper, pulang. Tapi ada banyak pertimbangan. Ada nama pihak lain yang mungkin akan tercoreng. Ada nama baik institusi, UNY dan UGM, yang mungkin akan tercoreng. Hampir setiap hari, sambil menulis sambil menangis. Sambil menulis sambil membisiki pintu-pintu langit mohon diberi petunjuk yang sempurna agar tak salah memilih jalan. Dan akhirnya aku sampai di sini, di titik ini.
Iya, ketika tanggal-tanggal itu sudah ditetapkan. Beban-beban yang harus dilepaskan juga sudah dipilah pilah untuk sempurna diturunkan. hati ku tiba-tiba dilanda badai dan mengacaukan, memporak-porandakan semuanya. Aku takut. Aku cemas. Aku khawatir. Dan aku ragu. Perasaan-perasaan yang tak seharusnya muncul dan ada karena memang sejak awal aku sudah tahu saat ini pasti akan datang. Oh, aku menemukan kalimat itu akhirnya. Iya, tak seharusnya aku khawatir karena sejak membuka pintu itu aku sudah tahu di depan aku akan menghadapi apa. Tapi memang begitulah mungkin. Ketakutan hanya ada untuk hal-hal yang sudah jelas terlihat.
Baiklah. Meskipun tak kutuliskan di hamparan biru langit itu, aku merasa menumpahkannya di sini sedikit melegakan. Ketakutanku semoga memang hanya kegugupanku menempuhi penggalan terakhir perjalanan ini. Keraguanku semoga juga pertanda betapa semakin merasa kecilnya aku ditengah lautan ilmu pengetahuan yang luas ini.
(Dituliskan tanggal 19 April 2017 sambil diselingin diskusi dengan sensei dan sholat ashar)
Comments
Post a Comment