Skip to main content

Gigi Nasywa dan Dokternya


"Dek, ada dokter gigi, ada dokter telinga, dokter hidung ada ga?" tanya saya di suatu hari kepada Nasywa. Lalu sambil ngupil dia bilang "Ya nggaak laaaah....". Lalu kami tertawa berdua.
"Ada dek, mulut, hidung dan telinga itu dokternya satu, yang di Himawari Klinik itu. Kalau upilmu banyak sampe kamu ga bisa napas, nah kamu dibawa ke sana nanti hidungmu disedot pake vacum cleaner kecil kayak pas telingamu kemarin" kata saya menjelaskan tentang dokter THT. Memang beberapa waktu lalu kami sempat bolak balik (dua kali doang soalnya) ke dokter THT karena saya bersihin telinga Nasywa tapi cotton budnya lupa ga saya basahi sehingga membuat telinga bagian dalamnya lecet. Untung ga papa. Ada hikmahnya juga, karena telinganya jadi bersih dibersihin pake jarum vacuum cleaner hehehe. Baru tahu saya ada alatnya. Bahkan ke sana cuma mau bersihin telinga aja juga boleh. 

Untuk Nasywa, selain dokter umum anak, ada satu klinik yang dia paliiiing sering datangi, yaitu klinik gigi. Klinik gigi langganan saya dan Nasywa ada di dekat Apato lama kami, namanya Ino Ue dental clinic. Tidak begitu luas, tapi alatnya lengkap. Rongsen gigi juga ada. Dokter, perawat sampai mbak mbak front desk sudah hafal banget sama Nasywa. Kayaknya dia anak asing satu-satunya yang ke klinik itu. Karena kebanyakan perginya ke Kuwahara dental clinic di dekat sekolahan. 

Untuk ukuran klinik di Jepang, klinik ini ya luas juga. Fasilitasnya lengkap kayak klinik-klinik lain. Kalau mau datang sebaiknya telpon dulu atau buat janji. Meskipun ada 3 kursi eksekusi, tapi kalau sedang banyak kunjungan bisa lumayan bikin bosen nunggunya.

Nasywa pertama ke sini ketika dia umur 5 tahun. Secara waktu datang pertama kali ke Jepang, giginya caries semua. Padahal Nasywa ini ga suka permen, ga suka coklat. Tapi dia memang kalau makan suka diemut. Plus dia kayaknya mewarisi gen saya, giginya rapuh, ga kayak punya Abahnya yang putih-putih, besar dan kuat-kuat. Gigi saya kecil-kecil dan gampang sekali keropos plus terbentuk karang gigi. Menurut dokter sih air liur saya cenderung asam, jadi sebaiknya dihindari makanan manis dan lebih banyak mengkonsumsi air putih. Padahal untuk menjaga kemanisan diri, saya seneng mengkonsumsi yang manis-manis 😋

Kami menyebut dokter gigi di klinik ini, Inoue Sensei. Entah nama aslinya siapa. Dia ga bisa bahasa Inggris. Perawatnya juga. Kami berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan bahasa qolbu. Kadang dia ngoceh panjang lebar saya cuma aaa... aaa... aaaku ora mudeng. Tapi kami manut. Mau diapain gigi Nasywa, monggo saya pasrah bongkoan. Gratis ini 😂😂. Ya gitu, anak di bawah 6 tahun memang semua-smeua masih gratisan kalau urusan kesehatan.

Berhubung Nasywa takut saat tindakan, saya selalu menemani di sampingnya. Ada bangku kecil yang disediakan di kursi periksa untuk saya duduk. Lalu tangan Nasywa akan saya genggam selama tindakan. Jika dia menggenggam tangan saya kencang berarti dia dalam kondisi takut sekali. Hebatnya, selama hampir 3 bulan perawatn itu dia ga sekalipun nangis. Mungkin memang semua dibuat nyaman, dengan obat dan alat yang mereka miliki. Sehabis periksa Nasywa akan diberi koin gacha gacha, lalu menggunakan koin untuk memutar mesin gacha-gacah untuk dapat hadiah. Hadiahnya adalah penghapus dengan karakter yang lucu-lucu.

Begitulah sejarah gigi Nasywa saat kecil. Sekarang (tahun 2023), kami memutuskan dia harus ketemu dokter gigi lagi. Kali ini waktunya ga cuma 3 bulan tapi bisa 8 bulan. Pemicunya adalah karena giginya mendadak miring. Ya ga mendadak juga sih, memang karena ada yang dicabut jadi gigi tumbuh doyong. Awalnya ga kentara, lama-lama kok jadi aneh. Akhirnya konsul ke Dokter Niken, pemilik Graha Kusuma Dental Clinic. Sama beliau langsung disuruh ke klinik dan dieksekusi. Nanti saya ceitakan bagaimana prosedur dan kisahnya selama 8 bulan di bawah pengawasan Dokter Niken yang baik itu. Sekarang tinggal 2 bulan kalau tidak ada masalah. 



Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...