Skip to main content

Perjalanan Jumat: On The Road

Hai kamu, apa kabar?

Aku menemukan cuplikan ini tadi pagi di memori Fb. Status yang sejatinya hanya copy paste dari fan page nya Tarbawi ini aku tulis tahun 2013. Tahun yang juga tidak mudah bagiku. Tahun pertama kuliah, tinggal di negeri orang, sendirian dan bawa Nasywa. Kalau sampai hari ini aku masih diberi kewarasan setelah semua waktu-waktu berat yang pernah ku lalui, itu pasti karena Allah sayang aku. Atau Allah sayang Nasywa sehingga Dia tak mau Nasywa sedih punya Ibu gila. Atau Allah tak mau melihat Mae bersedih melihat anaknya kurang waras. Atau juga mungkin karena ada kau sebut namaku dalam salah satu doamu.

"Setiap kita, pasti punya momen berat, sangat berat bahkan.
Di momen itu kita sampai pada satu titik,
bahwa segala rasionalitas kita, juga kehebatan kemanusiaan kita
tak lagi punya kesanggupan.
Bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu.
Itu ruang spiritualitas, yang tidak bisa kita masuki
kecuali dengan ketundukan"
.


#Tarbawi 301

Sejatinya memang semua manusia punya medan pertempurannya sendiri-sendiri. Kita tidak pernah tahu saja, karena tak semua harus diceritakan bukan?. Yang kita lihat mungkin hanya topeng belaka. Atau cover atau apapun namanya, tapi itu bukan isi. Every one has their own pain. Ekspresi rasa sakit dan kecewa yang dia alami pun akan beraneka rupa. Seringkali, ekpresi paling mudah adalah berupa kemarahan. Seseorang dianggap susah diajak bicara, sangat sensitif, mudah marah, mudah tersinggung, sejatinya merupakan benteng pertahanan diri yang paling nyaman buat dia. Padahal, kalau saja kita mau lebih memahami, mau sedikit lagi mendengar, boleh jadi ada luka yang belum sembuh di hatinya. Ada kecewa yang tak bisa diungkapkan. Ada ketakutan yang menguasai, dan ada banyak alasan lain. Dan depresi salah satunya, itu kalau kamu belum tahu.

Sumber : IG @bapak2id

Hidup memang perjalanan singkat yang terasa panjang, ya?

Ada banyak hal yang tak terduga terjadi di jalan. Kita sudah well prepared, berangkat dengan bahagia, tapi di tengah jalan ban kita bocor. Apakah lalu akan dipaksakan terus melaju atau cari tambal ban? Kalau tetap jalan dengan ban kempes, resikonya ban dalam bisa hancur, perjalananmu ga nyaman, bisa oleh juga, tapi mungkin kamu ga akan telat. Tapi kalau kau mau bersabar sebentar, menunggu bapak tukang tambal ban bekerja, meskipun mungkin terlambat sampai tapi perjalananmu akan jauh lebih nyaman. Itu sering kita alami. Kita sering memilih mencari tukang tambal ban daripada maksa terus jalan dengan kondisi ban bocor. Ada pilihan kesabaran yang kita pilih. Tapi kenapa susah sekali memahami bahwa kesabaran itu berjalan sejajar dengan waktu? Ah mungkin kamu tidak. Mungkin hanya aku saja yang belum bisa memahami dengan baik bahwa sabar dan waktu itu dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Di jalan, kita juga kadang punya pilihan untuk nyalip. Kita bisa ambil itu atau tetap berada di posisi kita meskipun mobil di depan kita berjalan sangat lambat. Semua tergantung apakah kita mau ambil kesempatan nyalip, yang itu sah sah saja dan ga dosa, atau kita memang sedang ingin menikmati perjalanan dan tidak sedang buru-buru, lalu memilih tetap di belakang mobil yang berjalan pelan. Kadang, kalau sedang banyak yang dipikirkan, aku memilih untuk tidak menyalip. Meskipun mobil di depanku pelan dan mengeluarkan asap hitam. Entah kenapa, pada kondisi sedang tidak baik, aku tidak punya keberanian untuk nyalip. Tanganku seperti kehilangan energi menarik gas. Aku memilih tetap di posisiku, asal motorku tetap jalan, tidak peduli dengan kecepatan dan kenyamananku. Itu kalau aku. Jadi kalau hari ini aku sudah mulai nyolap-nyalip, kamu boleh saja merasa senang, berarti aku sudah mulai baik-baik saja. 

Tapi sepertinya yang paling penting saat kita di jalan itu, kita taat aturan. Waktunya merah, ya berhenti. Waktunya ada orang nyeberang yang jangan malah main kebut-kebutan. Kalau ada ambulance mau lewat ya berilah jalan. Jangan lupa bawa SIM dan STNK biar kalau lihat pak Polisi ga deg deg an.

Dalam hidup juga gitu. Yang penting kita taat. Jadi hamba yang taat. Karena kata Gus Baha, masuk syurga ki gampang, siak angel ki masuk kategori Abdi ne Gusti Allah. Masuk syurga itu mudah, dipersilahkan, cuma syaratnya harus menghamba, mengabdi dan taat pada Allah dan Ridho dengan semua ketentuan Allah. Nah ini yang sulit. Tapi bukan berarti ga bisa. Karena Allah itu guru yang luar biasa. Allah sangat menghargai proses. Proses kita menghamba, meskipun sambil merangkak, sering ngeluh, cerewet banyak minta, dikit-dikit nanges, ga papa.... Allah suka itu.


يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ

 ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

 فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى

وَٱدْخُلِى جَنَّتِى

(Al-Fajr: 27-30)


Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...