Skip to main content

2021 : Sunrise till Sunset

 


Foto ini diupload Sensei di Facebooknya awal tahun lalu, tahun 2021. Dia juga kirimkan aku foto ini via WA dengan caption yang kalau diartikan kira-kira bunyinya "Selamat tahun baru, ini matahari dan salju pagi ini. Kapan ke sini lagi?"

Aku senyum-senyum ketika membacanya. lalu sekian menit kemudian tergugu dalam rindu. Iya, ternyata aku serindu itu dengan Yamaguchi. Rumah yang ku tinggali 5 tahun. Yang menorehkan banyak cerita suka maupun duka. Ku fikir aku sudah bisa ke sana tahun ini, tapi ternyata belum. Terlalu banyak hal yang membuatku harus kembali menyimpan rapi rindu itu.

Siapa yang menduga tahun ini akan banyak sekali project yang disampirkan di pundakku. Rasanya tidak ada doa yang aku ulang sebanyak doa "Ya Allah, mampukan hamba menyeleseikan semua amanah ini dengan baik, tanpa menyakiti hati diri sendiri maupun orang lain". Doa itu bahkan menjadi doa wajib selama Ramadhan. Di setiap berbuka, doa itu ku panjatkan. Aku ternyata takut sekali dengan banyaknya amanah. Aku tahu bekerja dengan orang banyak, dengan sifatku yang keras, punya potensi besar menimbulkan kegaduhan. Aku sungguh tidak mau menorehkan luka di hati orang lain (lagi), baik yang disengaja maupun tidak.

Lalu siapa sangka di pertengahan tahun, aku kehilangan Pak Dhe. Dan rentetan cerita setelahnya ternyata panjang sekali. Mae kecapekan, lalu pijat, ternyata salah pijat. Karena salah pijat itu lalu ada otot yang ketarik (sprain) menyebabkan Mae kesakitan sepanjang waktu. Kami semua dibuat sibuk, bingung, gugup, takut, sekaligus sedih. Perasaan campur aduk yang datang silih berganti setiap hari. Aku, Mbak Siti dan Mas Heri berupaya mencarikan obat. Dari yang tradisional sampai medis. Dari yang ga bayar sampai yang jutaan. Mungkin hanya aku saja yang berfikir begini. Aku ingin memberikan yang terbaik buat Mae. Sebab aku tidak ingin menyesal. Iya, untuk alasan itulah aku mencurahkan seluruh tenaga, fikiran dan uang demi Mae bisa sembuh. Aku cuma tidak ingin menyesal. Se-egois itu. 

Semua bayangan buruk tentang Mae selalu menghantui hari-hari. Wa-wa di siang hari menjeda kuliah dan kesibukan lain, memaksaku untuk berhenti memikirkan pekerjaan dan memfokuskan diri pada Mae. Kadang Mae telpon saat aku sedang mengisi kelas, dan aku tanpa berfikir panjang langsung menjeda kelas. "Mohon maaf, ada panggilan syurga" itu dalihku pada mereka. Untung mereka mau mengerti. 

Telpon keluh kesah yang panjang. Tentang sakit yang ini, pindah ke sini, mau berobat ke sana, mau dibeginikan, harus bagaimana, kenapa sakit sekali, kenapa tidak sembuh-sembuh, kalau aku mati..." dan semua keluh kesah itu selalu bisa membuatku terpekur sebentar kadang juga lama. Kadang aku menangis tiba-tiba dan meminta peluk suami ataupun Nasywa. Nasywa lalu akan bertanya "Kenapa? mikirin Uti?". Iya...aku takut sekali. Aku belum siap. Aku sungguh-sungguh takut dengan hal-hal yang mungkin terjadi.

Malam-malam minggu yang panjang selama 6 bulan. Malam minggu yang jika bisa tidur 4 jam itu sudah harus disyukuri. Malam-malam minggu yang diisi tidur-tidur gelisah. Rengekan minta pijit dan elus. Serba salah posisi dan bingung juga harus membantu bagaimana selain terus mengelus sambil terkantuk-kantuk. Lalu pelan-pelan beranjak pindah ke kursi depan untuk merebahkan badan setelah hari menjelang pagi. Jika beruntung maka subuh baru terbangun karena tidak ada interupsi. Jika jatahnya harus berjaga maka baru rebahan sudah dipanggil lagi meneruskan elusan. Aku yang kalau tidur kurang dari 6 jam bisa oleng ini diberi kekuatan entah dari mana sehingga bisa melalui itu semua.

Selama itu, suara-suara saudara dan tentangga yang aku yakin karena perhatian dan sayang kadang terasa bagai sembilu. Seperti azimat berduri. Nasehat begini, nasehat begitu, usulan begini, usulan begitu, terawangan begini terawangan begitu. Semua menyadarkan kami bahwa niat baik yang disampaikan di waktu yang tidak tepat akan berasa seperti pedang yang menyayat-nyayat hati. Kelak jika ada saudara sakit, Please...aku...ga usah komentar dan sok tahu. Doakan saja. Kalau punya uang ya support dengan materi. Sekaya apapun dia, saat sakit dia itu butuh suntikan dana, bukan cuma usulan. Kasih sayang dan perhatian yang dibarengi dengan komentar dan usulan-usulan yang dipersepsikan sendiri itu bisa diterima berbeda oleh yang sedang mengalami. Jadi please aku, kalau ada saudara sakit, jangan banyak komentar oke??!!

Sepanjang itu kami harus mengadaptasikan diri dengan kondisi Mae. Mbak Iti yang harus bolak-balik Selo setiap hari. Mas Heri yang tidak bisa lagi bebas pergi-pergi sesuka hati. Dan aku yang sebisa mungkin di setiap ada waktu luang menemani Mae. Aku tidak pernah berpikir semua itu akan berujung. Di saat kami sudah adjust dan menikmati semuanya, menerima segalanya, lalu Mae harus diopname karena kena batuk.

Siapa sangka itu adalah momen titik balik. Waktu yang kumanfaatkan untuk mengkonfirmasi kondisi badan Mae lewat segala macam pemeriksaan dan disimpulkan Mae tidak apa-apa selain masalah kakinya. Muntah, mual dan tidak doyan makan itu entah apa. Jika di akhir hari dokter bilang ada gejala typus, itu mungkin hanya statement karangan tanpa dasar saja. Karena ketika ku minta hasil cek darahnya tidak pernah diberikan. Tapi sungguh tidak apa-apa, karena akhirnya sekarang Mae sudah sehat dan mulai bisa beraktivitas sendiri.

Di sepanjang tahun ini aku juga kehilangan banyak teman lama. Kehilangan yang ku ketahui hari itu juga dan membuatku menangis beberapa saat. Dan kehilangan yang baru ku ketahui beberapa bulan sebelumnya dan membuatku menangis agak lama. Mereka-mereka teman yang luar biasa. Sedikit atau banyak, aku bisa seperti ini juga karena ada mereka dalam cerita hidupku.

Oh iya, aku menangis 4 hari saat Didi Kempot meninggal. Saat itu aku sedang PMS sepertinya. Aku bisa berkabung sepanjang itu karena aku merasa Indonesia tidak punya harapan lagi dengan meninggalnya Mas Didi. Ga ada lagi yang bisa membuat semua patah hati menjadi haha hihi. Sungguh 4 hari yang buruk. Memutar lagu Mas Didi sambil menangis sesenggukan. Padahal kenal dia aja enggak. PMS saja yang dituduhkan sebagai penanggungjawab semua ini.

Tak ada kata selain Alhamdulillah untuk tahun penuh roller coaster ini. Banyak pembelajaran yang mendewasakan. Banyak cinta dari orang-orang terkasih. Banyak rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Yang paling ku syukuri tentu saja bahwa semua amanah dapat diseleseikan dengan baik. Bahwa bisa menjaga Mae selama opnam meskipun tidak full. Bisa mencurahkan semua kemampuan untuk memberikan yang terbaik buat Mae. 

And heil... Di new year eve ini mendadak charger laptop ga mau support. Gejalanya udah sejak visitasi hari kedua itu. Tapi mati totalnya baru malam ini. Sehingga tulisan ini akhirnya harus diselesaikan dengan hp. 

Apapun... Tahun 2021 ini sungguh terasa singkat. Dari mulai sunrise sampai sunsetnya membawa banyak kenangan. Dari cuaca cerah, mendung, hujan gerimis romantis, badai datang, hujan mereda, lalu langit terlihat cerah bersih dan matahari akhirnya terbenam di barat dengan indah.

Terimakasih kalian yang selalu ada di hati, yang menemani saat-saat sulit ku, yang menambah kebahagiaan dalam hidupku. Tahun depan kita berjuang bersama lagi dengan penuh bahagia ya ❤️❤️


Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...