Skip to main content

Hujan, dan Doa-doa yang Dikabulkan

(Design picture by Dey Iftinan)

Aku pernah sangat membenci hujan. Aku tidak suka basah dan dingin yang diakibatkan olehnya. Aku juga tidak suka ketika kegiatanku terganggu karena hujan turun, entah itu gerimis maupun hujan deras. Aku selalu bilang, orang-orang yang menyukai hujan, pastilah mereka yang punya mobil untuk bisa kemana-mana, atau mereka yang tak harus kemana-mana karena semua kebutuhannya sudah tercukupi.

Aku pernah membenci hujan.

Aku membenci hujan dua kali lebih besar ketika dia turun di pagi hari, saat aku harus mengantar anak sekolah dan saat semua kegiatan akan dimulai. Susah bukan, jika harus berangkat berhujan-hujan lalu sampai sekolah dengan kebasahan? Itulah kenapa aku membencinya dua kali lipat jika hujan turun di pagi hari.

Dan aku masih membenci hujan.

Aku pun mengutuki hujan yang turun di sore hari, saat berasku habis. Aku harus berkejaran dengan waktu dan juga hujan, untuk pergi ke toko membeli beras, lalu mengayuh sepedaku cepat-cepat menjemput anakku di sekolah. Sudah berat, basah pula semuanya.

Untuk alasan-alasan seperti itulah aku membenci hujan.

Dan hujan seperti tahu aku membencinya sekali atau berkali-kali lipat dalam situasi tertentu. Dia membisikkan sesuatu padaku sore itu, bahwa dia dan kawan-kawannya datang bukan semata untuk membuatku merasa dibuat susah yang bertambah-tambah. Dia bilang,

"Aku memang turun, tapi itu semua untuk menjemput doa-doamu, dan lalu kan kubawa dia ke tempat dimana seharusnya doamu disematkan"


Aku masih tak percaya. Ku fikir mereka membual saja. Biar kesan syahdu dan melankolisnya tak ternodai oleh kebencianku padanya. Aku tetap menebar keluh setiap dia turun, kapanpun dan di manapun.

Aku belum berhenti membenci hujan.

Satu-satunya yang aku sukai dari hujan hanya satu. Dia dan teman-temannya selalu bisa menjadi tempatku bersembunyi dan menyembunyikan air mataku. Siapa yang bisa tahu, wajahmu basah kehujanan atau karena air mata yang tak kalah deras luruh dari kelopak itu? Hujan menyembunyikannya. Kau tetap bisa bernyanyi bahagia, dan saat yang sama kau menangis menggelung samudra.

Dan benciku pada hujan mulai terkikis olehnya.

Aku mencoba mempercayai bisikannya. Ku untai doa-doa kecil, ku titipkan dalam tiap tetesnya, dan aku menunggu. Aku ingin dia membuktikan, bahwa doa-doa kecil itu sampai di tempat dimana dia seharusnya, dan lalu dikabulkan. Aku menunggu dalam jeda yang tak begitu lama, ketika hujan turun lagi dan berbisik padaku.

"Sudah ku sampaikan, kau tunggu saja, waktu yang dijanjikan itu segera tiba"


Demi mendengar itu, ku untai lagi doa-doa besar. Doa yang juga ku titipkan pada sujud dan air mataku, saat hujan turun dengan deras di suatu waktu. Aku tak sepenuhnya percaya pada hujan. Oleh karenanya, aku mengirimkan pasukanku sendiri untuk menemani hujan, membawa serta doa-doa besarku itu.

Dan aku mulai sedikit menyukai hujan.

Kau tahu....semakin lama, semakin banyak ku titup doa, aku jadi semakin tahu siapa dia. Dalam setiap rintik dan derasnya, ada kebaikan yang dibawa. Ada kasih sayang yang diturunkan. Apa dia bilang? ada Rahmat yang hendak disampaikan kepada siapa yang ada di bumi. Kepada katak yang sedang ingin bernyanyi. Kepada pucuk daun yang rindu dengan pucuk-pucuk bestari. Kepada tanah yang lelah gersang kepanasan karena matahari. Kepada hati yang mulai jenuh dan ingin mengeluh, seperti aku ini.

Aku kemudian mencintai hujan, sebesar aku membencinya dulu.

Aku memang tak pernah meminta dia datang saban hari. Tapi sekarang, aku memberikan senyuman saban dia turun. Entah itu pagi, siang, sore atau malam hari. Aku mencintainya dua kali lipat jika dia turun gerimis saja, dan saat aku mengendarai sepeda. Di setiap kayuhanku, ada harapan yang ku eja. Ada doa yang ku pinta. Ada kepercayaan yang aku jaga. Bahwa cinta-Nya, turun bersama rintik hujan, untuk menjemput doa kami dan berkata.

"Kau tunggu saja, doa-doamu, akan dikabulkan oleh Nya"






Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...