Skip to main content

Menjadi Penulis Berjatidiri

Meskipun jarang publish tulisan di blog ini, tapi percayalah, saya setiap hari menulis di blog ini. Kalau ga percaya, ya ga papa.

Saya menjadikan blog ini sebagai teman berbagi cerita, apalagi di saat yang meresahkan dan menegangkan. Karena, entahlah, sudah sekian kali tengak-tengok, kok saya tidak menemukan satupun mulut yang akan kuat menahan, menjadikan semua cerita saya menjadi bagian rahasianya juga. Haha bilang aja saya ga punya sahabat baik. Itu lebih mudah.

Ini tentang menulis.

Kadang saya juga merasa minder saat mau posting sebuah tulisan yang sebenarnya hanya cerita, bahkan juga bisa saja curcol, atau kadang malah curhat. Kok sepele banget sih ya, ga ada isinya.

Soalnya, kalau saya membaca tulisan para senior dan junior yang kece keren itu, yang pada setiap tulisannya ada ilmu yang bisa dipelajari, ada hakikat yang bisa diresapi, dan ada ujaran kebaikan yang selayaknya diikuti. Lah aku??

errrr... nulisnya gitu-gitu doang.

Misalnya, ada Mas Aji di kompasiana yang kalau nulis resensi film itu bisa bikin saya buka wikipedia berulang-kali karena beberapa istilah yang terlampau baru buat saya. Bagaimana dia bisa menulis resensi se-ilmiah itu gitu lho. Saya akui bahwa menulis resensi baik buku ataupun film itu ga ada mudahnya. Sulit banget. Meskipun selera boleh mendominasi, tapi memberikan gambaran yang masih abstrak kepada pembaca sehingga membuat pembaca bisa memutuskan mau lihat apa ga, mau baca apa ga, cuma dengan baca resensi, itu sulit banget. Salah satu tulisan mas Aji yang baru yaitu tentang film Dunkirk yang jadi HL di Kompasiana hari ini.

Atau lain lagi, misalnya Pak Yusran Darmawan di blognya, yang selalu saja membuat kita memahami sesuatu dengan mudah dari sudut pandang yang sangat sederhana dan menyentuh dalam sekali waktu. Tulisan beliau tentang Veronica Tan, istrinya Pak Ahok, kapan hari itu sukses membuat saya ndlewer-ndlewer. Pak Yusran bisa mencerdaskan pembaca lewat tulisan-tulisannya yang terkadang amat sangat sederhana.

Yang sedikit nakal, ada banyak ponggawa mojok.co beserta semua bala nya yang kalau nulis nakal banget. Sebagai orang dewasa yang pernah muda di tahun 90an, dan memahami apa itu arti kata mojok, saya sangat kesulitan memasukkan tulisan untuk mojok. Karena mojok punya jati diri. Tulisan yang ditulis haruslah cerdas dan secara bersamaan nggateli.

Dan saya masih jauh dari mereka-mereka itu.

Prinsip saya masih sederhana.

Menulis itu hiburan sekaligus curhat colongan yang dikemas sedikit intelektual hahaha

Comments

Popular posts from this blog

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 2]

      Oke kita lanjut ya 👉     Kalau di part 1 kita beranjangsana ke negara tetangga, di part 2 ini kita mau menengok tetangga agak jauh. Duh, bukan agak lagi ya, ini emang jauh banget. Ini kayaknya penerbangan terlama sepanjang sejarang penerbangan yang pernah ku lalui. Kalau ke Jepang itu cuma maksimal 7 jam, ini untuk sampai di transit pertama butuh waktu 9,5 jam, lalu lanjut penerbangan 4 jam lagi. Ke manakah kita? eh Aku? 😅 4. Turki (Bursa dan Istanbul)     Agak penasaran sama negara ini karena salah satu temen brainstorming (a.k.a ghibah 😂) sering banget ke sini. Ditambah lagi dengan cerita-cerita dan berita-berita yang bilang negara ini tu kayak Jepang versi Islamnya, jadilah pas ada paket ke Turki lanjut Umroh kita mutusin buat ikutan. Datang di musim gugur dengan suhu galau yang ga dingin-dingin amat tapi kalau ga pake jaket tetep dingin dan -kaum manula ini- takut masuk angin, membuat kami memutuskan pakai jaket tipis-tipis saja. Dan ben...

Pentingnya Memvalidasi Perasaan

  Salah satu sudut Aston University di Birmingham Hei Apa kabar Hati? Pergi jauh lagi, untuk waktu yang juga tidak sebentar, entah kenapa akhir-akhir ini rasanya lebih berat. Entah, aku sendiri bingung mendefinisikan ini tu rasa apa gitu. Sulit sekali memvalidasi apakah ini sedih? takut? rindu? atau apa?! Aku bingung, sebab betapa excitednya pas harus ngurus visa waktu itu. Mengejar pesawat iwir-iwir dari Adi Sutjipto, turun di Halim, sudah dijemput taxi, lalu menembus kemacetan Jakarta untuk wawancara yang less than 10 minutes, lalu udah masuk taxi lagi ke Soekarno Hatta ngejar pesawat ke Jogja. Udah kayak mudik ke Muntilan aja dalam beberapa jam Jogja-Jakarta. Visa pun, entah kenapa juga bikin deg-deg an. Pasalnya memang nominal di tabungan menggelembung di beberapa hari sebelum masukin syarat-syarat. Bisa karena ini ga bisa dilolosin, kata mbak-mbak Santana. Tapi ya Bismillah lah, kalau visa ga keluar, mungkin aku harus ke Bali saja menemani anak-anak Abdidaya.  Anak-anak s...

Sekoteng Hati

  Aku sedang mencari tempat yang tepat untuk menikmati segelas sekoteng ini. Tempat yang sejuk, silir, dan sunyi. Tempat yang aman dari pandangan aneh orang saat melihatku melamun sambil nyruput sekoteng ini. Tentu saja juga tempat yang aman dari wira wiri jin keganjenan yang mungkin saja ingin merasukiku karena aku kebanyakan melamun. Aku sedang mencari tempat seperti itu. Aku juga sedang mencari teman, yang di pelukannya aku bisa menangis sepuasku. Jikapun dia merasa malu, maka menangis di pundaknya pun bagiku sudah cukup. Atau, biarkan aku menangis dan dia cukup memandangiku sambil sesekali ngecek updatean statusnya. Aku tak peduli. Karena aku cuma tak ingin menangis sendirian. Aku ingin ada yang tahu aku sedang pilu. Aku sedang mencari teman seperti itu. Atau mungkin, Akhirnya aku harus menjatuhkan pilihanku pada sekoteng ini. Biar cuma dia saja yang tahu aku sedang ingin memangis. Mungkin air mataku bisa menambah cita rasanya yang kemanisan. Atau...