Skip to main content

Menikmati Proses, Menuai Hasil

 
 
"Kejayaan itu berada pada proses meraih mimpi, bukan mimpi itu sendiri"
(Mahatma Gandhi)

Saya mengutip quote di atas dari tulisan Mba Anggun C Sasmi yang dirilis oleh Kompas online (http://entertainment.kompas.com/read/2016/02/22/111748810/qureta.com?page=3). Beliau menyoroti penilaian masyarakat yang berlebihan atas kesuksesan pianis cilik di ajang Grammy Award tahun ini, siapa lagi kalau bukan Joey Alexander. Di tulisan itu, selain Mba Anggun, begitu saya memanggilnya, menyoroti fenomena Joey, dia juga menyayangkan adanya pembandingan antara Joey dan Dek Agnes Monica atau sekarang lebih dikenal dengan AgnesMo, meskipun saya tetap lebih suka memanggilnya Dek Agnes tanpa embel-embel 'Mo', saya takut aja dikira lagi manggil sapi.
Tapi, sebenernya yang sedang disasar oleh Mba Anggun itu bukanlah keduanya. Lebih dalam lagi, ini soal mimpi dan proses meraih mimpi. Orang kan kadang lihatnya 'apa yang dihasilkan' bukan 'bagaimana ia bisa mendapatkan'. Padahal, mana sih yang lebih penting? Ya dua-duanya keless *uhuk

Semalam, saat saya menemani Nasywa mengerjakan PR menulisnya, saya dibuat tertegun dengan konsekwensi dia saat menuliskan huruf-huruf katakana, hiragana maupun kanji. Saya tak melihat hasil tulisannya, tapi bagaimana dia rela menghapus tulisan yang sudah jadi, dan bagus, hanya karena dia merasa salah langkah saat menulisnya. Saya sempat keceplosan "Ga papa..ini juga bagus kok!" tapi dia keukeuh bilang "Ga boleh Ummi, harusnya itu begini dulu baru begini" sambil dia menuliskan huruf yang sama, bentuknya sama, sama bagusnya, tapi langkahnya beda. Dan lalu saya pun mengaku khilaf...

Sekitar beberapa bulan lalu, waktu saya nekat makan bareng, duduk satu meja dengan anak-anak Jepang satu Lab, obrolan ringan mereka juga tentang masalah itu. Mereka membahas, menulis angka 0 (nol) itu dari mana dulu? kiri atas ke kanan atas? kanan bawah ke atas lalu ke kiri bawah? atau bagaimana? Lalu berlanjut ke angka 8 (delapan), huruf N, dan sebagainya. Sebentar mereka menolah kepada saya, dan bertanya, "Kalau kamu gimana nulisnya?" dengan enteng saya jawab "Ya yg mana aja bisa, kan yang penting jadi huruf N". Lalu mereka pun terdiam. Mungkin dalam pikiran mereka "Di Indonesia ga diajari cara nulis kali ya, yang penting bentuknya sama".

Lho..memang iya bukan? Apakah dulu saat kita belajar menulis huruf A B C D dan angka 1 2 3 diajari itu nulisnya dari mana ke mana? Yah kalaupun bu Guru bilang "Begini ya anak-anak, dari sini, ke sini, lalu diginiin" lantas kita benar-benar melakukan seperti yang bu Guru kerjakan? Kalau saya sih tidak...kalau Anda iya, berarti Anda adalah anak muda harapan bangsa. Dan selama ini juga saya ga pernah memperhatikan, bahkan kepikiran saja tidak, sebenarnya menulis huruf itu ada cara bakunya tidak? Dari mana ke mana di akhiri di mana? Bukankah yang penting hasil akhirnya huruf A N I  dan bisa dibaca? Kira-kira begitulah hasil pendidikan sekolah dasar di kampung saya dulu. Dan mungkin juga di sekolah-sekolah lain di Indonesia. It doesn't matter how you write it, but how it looks like.

Berbeda dengan anak-anak SD di sini. Selain ya memang ada aturan baku bagaimana cara menulis huruf-huruf Jepang itu, demikian juga berlaku pada penulisan angka. Dan karena cara melatih mereka itu bukan 'asal bentuknya sama' tetapi 'harus benar caranya' maka bentuknya pun jadi seragam. Semua anak, menulis angka 0-9 dengan seragam. Karena mereka semua memulai dan mengakhiri di titik yang sama. Sebagai missal angka delapan (8). Anak TK di Indonesia bolah saja menulis angka 8 dengan membuat bulatan-bulatan dua lalu menumpuknya. Toh hasilnya tetap seperti angka 8. Sedangkan anak SD di sini menulis angka delapan itu kanan atas, lurus serong ke kiri dikit, belok ke kanan, belok ke kiri lalu belok kanan lagi. Jadi angka 8 nya anak sini pasti diawali dari kanan atas dan berakhir di kanan atas dengan sedikit ekor di sana, atau bahkan tak bulat sempurna.

Itu cuma masalah cara menulis ya... Mari kita lihat bagaimana anak-anak S1, S2, S3 menulis skripsi, tesis dan disertasi. Kalau itu dirasa terlalu kompleks, mari lihat ujungnya saja. Anak S1, S2 di Indonesia akan melaksanakan Ujian sidang (pendadaran) selama 1,5-2 jam bukan? 30 menit presentasi lalu dilanjutkan diskusi. Beberapa tempat melakukannya secara tertutup, hanya dia, dan dosen penguji saja yang ada di ruangan siding. Beberapa kampus memperbolehkan ada temannya yang juga datang ikut menyaksikan dan ikut bertanya. Biasanya ujian sidang juga identik dengan pembantaian meskipun tanpa darah.

Tapi, di sini, ujian sidang anak S1 itu totalnya hanya 15 menit, terbagi menjadi 12 menit presentasi dan 3 menit tanya jawab. Anak S2 ujian sidangnya 30 menit. 20 menit presentasi, 10 menit tanya jawab. Anak S3 officially cuma 40 menit, 30 menit presentasi, 10 menit tanya jawab. Tidak ada pertanyaan menyudutkan. Tidak ada pembantaian. Teman-teman boleh datang, dan waktunya seragam. Jadi jadwal sidang anak S1 dan S2 itu sudah ditentukan harinya, jamnya, dan ruangannya.
Tapi...jauh jauh hari sebelum itu, mereka sudah melalui proses panjang dan melelahkan. Ujian yang sebenarnya ada pada proses bagaimana mereka bisa mendapatkan hasil dan melaporkannya. Bahkan dari sejak mereka merancang hingga membuat laporan. Dan di sanalah mereka dinilai, bukan cuma saat ujian saja, tapi seluruh proses yang telah dilalui sampai mereka bisa melaporkan itulah yang dinilai oleh dosen pembimbingnya.

Maka, tidaklah terlalu kaget jika Negara kita itu menganut paham 'hasilnya apa' bukan 'prosesnya bagaimana'. Karena memang sejak dulu, proses itu ga pentinglah. Ga penting juga tahu jatuh bangun, berpeluh-peluh, berdarah-darahnya orang yang merajut jalan impian, yang penting orang itu bagaimana 'penampakannya' sekarang. Maka tak aneh juga jika, orang yang datang ke Bank misalnya, dengan pakaian sederhana, mengandeng anak kecil, dilayani dengan berbeda dibandingkan dengan seseorang yg datang dengan baju trendi, tas kelihatan mahal, dan make up tebal. Ya kan, baju bagus, tas branded, wajah kinclong itu merepresentasikan status seseorang. Tak penting mereka itu dapet belinya pake nyuri, hutang atau memang karena usaha beneran. Begitulah keseharian yang terjadi di Negara hasil. Sedang di Negara proses, tak penting melihat cara berpakaian orang, merk tasnya, sepatunya, kendaraannya. Karena semua itu hanya asesoris. Yang penting apa yang dia kerjakan. Manfaat apa yang Ia tebarkan.

Bukan begitu bukan?!


Yamaguchi, Feb 23 2016

Comments

Popular posts from this blog

Kafunsho, alergi pollen yang datang setiap tahun

Sudah sejak pertengahan Maret tahun ini saya merasakan siksaan setiap pagi yang bersumber dari hidung. Siksaanya berupa hidung meler dan gatel. Melernya itu bening dan banyaaaaak. Banyak banget lah pokoknya sehingga setiap pagi saya harus membawa serta tisyu kemana-mana bahkan ketika harus nongkrong di toilet. Saya kira saya kena flu, makannya saya minum sanaflu. Demikian kata mab Desy Ratnasari ya hehehe. Cuma yang aneh kok kalau saya flu tapi kenapa badan rasanya biasa aja. Ga kayak orang sakit flu gitu. Ok, sanaflu ga mempan maka saya beralih kepada vitamin C. Hampir setiap hari minum UC 1000. Saya agak khawatir juga sama ginjal karena 1000 mg itu guedeee banget lho. Ditambah saya ga begitu suka minum air bening yang fungsinya buat netralisir. Pak guru sempet bilang " Kamu kafun kali... kan sudah tahun ke-5 ini " Tapi saya tetep ga percaya. Masak iya sih kafun pas di tahun terakhir. Perasaan dari tahun tahun sebelumnya ga kayak gini deh masak tahun ini baru mulai.

Buat kamu yang masih ragu menulis di mojok. Iya kamu!

Beberapa pecan yang lalu tulisan ku lolos meja redaksi mojok.co (link nya http://mojok.co/2016/03/surat-untuk-bu-ani-yudhoyono/ ). Web favorit anak muda yang agak nyleneh tapi asyik ini memang menantang sekali. Para penulisnya kebanyakan anak muda-muda yang berdaya nalar mletik. Pinter tapi unik. Yang sudah berumur ada juga sih, kayak si Sopir truk Australia, atau kepala suku Mojok, Puthut EA dan juga wartawan senior Rusdi Mathari. Mereka itu guru maya menulis yang baik. Tulisan mereka, kecuali si supir truk, mengalir dengan indah. Sederhana tapi penuh makna. Alurnya jelas. Kalimatnya mantap tidak pernah bias. Aku selalu dibuat kagum dengan tulisan-tulisan mereka, bahkan yang hanya status Fb. Yang selalu menjadi icon dan lumayan bullyable di mojok itu adalah Agus Mulyadi. Anak muda yang terkenal karena kemrongosan giginya ini selain jadi photosop juga jago nulis. Tulisan-tulisannya di Blog pribadinya khas sekali. Dengan umpatan-umpatan khas magelangan. Plus cerita-cerita lugu yang

Beda Negara, Beda Kota, Beda Vibes-nya [Part 1]

Ga nyampe dua bulan udah mau kelar tahun 2023 ini. Doa-doa di akhir tahun lalu dikabulkan dengan bonus-bonus yang luar biasa. Minta tahun 2023 diisi dengan banyak jalan-jalan, eh beneran dikasi banyak perjalanan baik dalam provinsi beda kabupaten sampe ke luar negeri. Kadang sehari bisa dari pagi mruput ke timur selatan naik-naik ke Gunung Kidul, agak siang turun ke utara kembali ke Sleman, lalu sorenya udah harus ke barat meskipun tujuannya bukan mencari kitab suci. Ada banyak banget PR menulis yang belum sempat dikerjakan. Baik menulis paper maupun menulis catatan perjalanan. Biar ikut les menulisnya itu adalah sibgha hnya ya 👀. Oke lah kita mulai mengerjakan PRnya satu-satu. Tadi pas nongkrong sempet kepikiran mo berbagi kesan saat jalan-jalan ke berbagai negara tahun ini. Kesan ini tentu sifatnya sangat subjektif ya. Masing-masing orang bisa menangkap kesan yang berbeda. Ini menurutku saja, mungkin kamu berbeda, ga papa ga usah diperdebatkan.  1. Bangkok, Thailand     Sampai Bangk